Dulu, waktu aku masih belum sepenuhnya mengerti apa itu agama, ngapain susah2 baca iqro hingga Qur'an (selain karena tidak mau kalah dan ketinggalan dengan teman lain), apa makna menyanyi islami selain untuk senang2 dan bertepuk tangan, saat aku relakan bangun di tengah tidur siangku yang nyenyak untuk segera mandi dan beranjak ke masjid desaku, saat aku menangis meraung-raung hanya karena tidak punya baju lengan panjang untuk digunakan pergi ke masjid...
Saat itulah, sesampainya di masjid hatiku kembali riang. Seolah kulupakan semua masalah dari mulai rasa kantuk yang masih tersisa hingga masalah baju lengan panjangku. Aku kembali berlomba-lomba membaca iqro’ dengan bimbingan ustadz ustadzahku yang tanpa kenal lelah. Kembali menyanyikan lagu islami yang hingga sekarang aku masih mengingatnya, dan kembali berlari-lari walaupun hanya sekedar mengelilingi lapangan badminton di halaman masjidku.
Kulihat wajah2 sabar, ikhlas dan telaten terpancar dari mereka, para ustadz/zah ku. Percaya tidak percaya, aku tidak sampai selesai membaca iqro’ empat dan langsung menanjak ke Al-Qur’an. Mereka tidak marah, malah mereka yang memberiku semangat. “Ora kudu rampung jilid 1 tekan 6, nek bacaane wis lancar tur bener. Soal hukum bacaan karo liyane iso sambil jalan”, (tidak harus selesai iqro’ 1 sampai 6, kalau bacaanya sudah lancar dan benar. Soal hukum bacaan dan lainnya bisa sambil jalan) kata ustadz Teguh kala itu.
Aku senang bukan main. Karena saat itu hanya akulah santri yang baru kelas 3 SD sudah bisa ‘pegang’ Al-Qur’an, juga telah hafal dari surat Ad-Dhuha hingga surat An-Nass.
Begitu banyak kedamaian tercipta bersama mereka dan teman2ku. Begitu banyak kenangan yang masih tersimpan di memori ingatanku, begitu banyak kehangatan di kala berkumpul dalam kebersamaan. Banyak suka dan duka telah kami lalui bersama. Dari mulai menyanyi terjemahan surat Al-Kautsar, temu santri+kado silang, kuliah kebun, takbir keliling, silaturahim keliling (lebaran), berbagai macam lomba hingga naik gunung telah kita lakoni.
Tapi kadang ada dukanya juga. Tidak jarang di masjidku tercinta At-Taqwa terjadi kegaduhan. Mulai suara petasan disana sini (waktu Ramadhan hingga kepergok patroli keliling), keributan saat membuat spanduk, saat menjadi amil zakat, bahkan saat malam takbiran yang diwarnai dengan perkelahian (waktu itu ada beberapa orang pemuda dari desa lain yang menampakkan sikap tidak nyaman bagi remaja kami ; merokok di depan masjid hingga terjadi bentrok)
Juga acara kuliah kebun yang sulit aku lupakan. Berjalan dimalam hari dengan diterangi cahaya obor, bersama beberapa temanku sambil berusaha menjawab beberapa soal dari pos sebelumnya menuju pos berikutnya. Mirip seperti jurit malam. Dan satu lagi yang masih melekat dalam ingatan adalah melihat sunrise di puncak gunung yang sejak dari shubuh kami sudah berangkat meninggalkan rumah.
Kalau disuruh menceritakan satu persatu, rasanya tidak akan cukup. Akan butuh berlembar-lembar dan pasti akan sangat menyita tempat dan waktu. Oya, satu lagi peristiwa yang membuatku geli jika mengingatnya. Waktu itu berdo’a akan memulai TPA. Kebetulan aku agak rame dengan teman sebelah. Setelah selesai, ternyata aku bersama temanku itu disuruh mengulangi berdo’a dari awal. Mau sih mau, tapi setelah itu kami berduapun agak tidak suka dan jaga jarak dengan ustadzah yang menyuruh kami mengulangi berdo’a tadi. (Namanya Mbak Uni) Yah, namanya juga anak2.
Bisa dibilang, ada seorang ustadz yang mungkin… kalau nggak ada dia aku tidak mau ngaji. Namanya Ustadz Yuli. Dan aku tidak mau ngaji (baca iqro’/Qur’an) kalau tidak sama Ustadz Yuli itu. Bukan aku saja yang ‘kesengsem’ dengan kharismanya. Semua temanku (terutama santriwati), bahkan ada seorang ustadzah yang sempat jadi teman dekat. Pada saat itu kami (santriwati yang ‘kesengsem’) cemburu bukan main. Sekali lagi, namanya juga anak2. Jadi senyum2 sendiri kalau inget.
Begitu banyak ustadz/zah yang membimbing kami dulu. Dari mulai Ust. Eko (yang mirip Glenn Fredly), Ust. Teguh, Ust. Ari, Ustzh. Uni, Ustzh. Yanti, Ustzh. Nining dan masih banyak lagi ustadz/ustadzah dibawah generasi yang saya sebutkan diatas. Sekarang, saya tidak tahu mereka ada dimana. Apakah masih aktif dalam kajian sebagaimana yang mereka sampaikan kepada kami dulu atau tidak. Sungguh, aku rindu…
Keadaan itu sudah sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Masih di desaku, masih di masjidku tercinta At-Taqwa. Satu minggu TPA seharusnya jalan 2 kali. Minggu dan Kamis. Namun mereka (adik2 santri) terpaksa terkatung2 tidak menentu mengikuti TPA. Kadang Minggu dan Rabu, Minggu dan Jum’at, Minggu dan Senin, bahkan pernah seminggu hanya 1 kali pertemuan. Kenapa? Karena tidak ada ustadz/zah yang dapat membimbing mereka di kala mengaji. Terpaksa jadwal mengikuti kita (saya dan seorang teman), kapan kita kosong. Karena teman saya itu (tepatnya mantan santri yang sempat saya bimbing dulu) sekarang baru kelas 3 SMP. Dan dia disibukkan dengan berbagai macam les untuk menghadapi UAN. Sungguh dilematis. Bisa dibilang remaja sekarang sudah tidak peduli agama. Daripada pergi ke masjid, mending nyuci seragam atau pakaian yang seabreg. Daripada ngajar adik2 TPA, mending bersih2 rumah, capek, ketiduran, atau pulang sore (padahal masih sempat) de el el adalah alasan2 yang sering saya dengar dari mereka ketika saya ajak ngaji.
Bagaimana akan tercipta generasi yang rabbani kalau anak2 sekarang tidak pernah mengenyam pendidikan agama (kecuali di sekolah) hanya karena tidak ada ustadz yang membimbing. Mereka hanya mau berkumpul jika dalam buka bersama di bulan Ramadhan, malam takbiran, lebaran… Sedangkan TPA seperti biasa tidak mereka ambah.
Kalau dipikir, jaman dulu dengan sekarang sudah jauh berbeda. Sekarang fasilitas sudah lengkap. Disediakan iqro’ dari jilid 1 hingga 6 yang dalam satu buku (berbeda dengan dulu yang masih ada sampulnya saja sudah bagus). Ada juz ‘ama, ada Al-Qur’an yang insya Allah cukup untuk mereka yang TPA, disediakan pula buku2 yang lain yang menunjang belajar mengajar di masjid, masjid ada kipas angin kalau memang alasan mereka kegerahan. Sungguh sudah lebih layak dibanding dulu. Seharusnya semangatnya juga lebih besar… tapi malah justru alasannya yang dibesar-besarkan.
Bukan menyalahkan mereka teman2 yang tidak peduli, tapi juga mencoba menanamkan prinsip dalam diri saya pribadi. Berusaha agar meluangkan waktu untuk dapat menyalurkan sedikit ilmu yang telah saya dapat dari mereka yang terdahulu. Apa saja, mulai dari nyanyian sampai cerita dan kisah. Ajakan sholat 5 waktu, berlomba untuk mencapai Qur’an walaupun dengan iming2 hadiah. Semua akan kami lakukan demi mereka tetap mau pergi ke masjid. Agar nuansa islam dan impian menjadi generasi rabbani tidak lenyap begitu saja dalam kehidupan kami. Dalam sanubari kami yang paling dalam...
Ketika remaja tak peduli agama
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
beberapa waktu yang lalu di sebuah tv swasta, dr. boyke menyampaikan sebuah hasil penelitian di Bandung yakni penelitian "maaf" remaja yang melakukan hubungan di luar nikah, yakni umur 15-24 tahun. dan hasilnya cukup mengejutkan bahwa 60 % remaja tersebut ternyata memang pernah melakukan hubungan di luar nikah, naudzubillah.
yah begitulah kondisi remaja saat ini, memang perlu ada upaya yang serius dari para orang tua, tetapi juga kita sebagai remaja sendiri mari saling menjaga diri dan kita ajak saudara-saudara kita untuk kembali kepada al quran dan sunnah, semangat!
wallahu a'lam
gapailangit.blogspot.com
sugito85@gmail.com
sugito85@yahoo.com
memang keadaan remaja masa kini sudah sangat memprihatinkan. padahal kalau dipikir, merekalah yang akan menjadi penerus bangsa ini. bisa dibayangkan, bagaimana jadinya. tetapi kita tidak boleh terus-menerus menghujat mereka, kita kembali ke dalam diri sendiri. yah, bisa dimulai dari hal yang kecil kan, seperti ngajar tpa (spt yg sya bahas diatas)dll. makasih komennya akhi agus. sering2 mampir y...
Posting Komentar