y

Surat dari Alam Kubur (Hikayah kitab)


Bismillahirohmanirahim

Inilah bukti kebesaran Allah Yang Maha Mulia lagi Bijaksana kepada Malik bin Dinar. Kami akan menepati pada pemuda itu gedungnya yang Anda jamin, bahkan tujuh puluh kali lipat.


Malik bin Dinar gemetar membaca surat itu. Tak tahu ia dari mana, entah melalui apa dan entah bagaimana pula datangnya surat itu. Yang ia tahu surat itu tiba secara misterius dan tergeletak begitu saja pada suatu subuh ketika tangan kehidupan hampir menjemput matahari.

Usai melaksanakan shalat subuh dan sedikit merenung ia baru ingat. Pernah menjamin sesuatu pada seorang pemuda yang tengah sibuk membangun gedung. Waktu itu ia tengah berjalan-jalan dengan Abu Sulaiman (Ja’far) di salah satu badan jalan kota Basrah.

Ketika sampai disuatu daerah mereka tertegun menyaksikan pemuda yang sangat tampan duduk dengan penuh wibawa mengawasi pembangunan gedung. Sesekali pemuda itu menegur pekerjanya yang dianggap tidak cekatan atau salah dalam mengerjakan tugas.

Entah karena apa, Malik bin Dinar tertarik pada pemuda itu, “Lihat pemuda itu, alangkah tampan wajahnya dan betapa rajin mengatur bangunan. Caranya menegur pekerja yang salah juga sangat santun. Belum lagi tekhnik ia memotivasi pekerjanya agar bekerja tak kekurangan stamina. Subhanallah, aku ingin minta pada Allah SWT semoga menyelamatkan pemuda itu sehingga ia dijadikan pemuda ahli surga. Wahai Ja’far, mari kita mendekatinya,” tutur Malik bin Dinar.

Merekapun masuk ke dalam proyek tempat si pemuda membangun gedung. Sebaris salam terurai dari bibir Malik bin Dinar dan Abu Sulaiman hampir bersamaan. “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,”

“Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh,” balas si pemuda santun. Makin tertariklah Malik bin Dinar pada akhlak si pemuda. Mereka belum saling mengenal, tapi wajah si pemuda tak tampak membersitkan raut kecurigaan. Ia malah berdiri dan menyambut dengan ramah. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Maaf mengganggu, kira-kira untuk apa gedung ini Anda bangun?” tanya Malik bin Dinar tak kalah santun.

“Bisa sebagai tempat berdagang atau rumah tinggal,” jawab si pemuda.

“Kalau boleh tahu, kira-kira berapa biaya yang engkau habiskan?”

“Sekitar seratus ribu dirham,” balas si pemuda tak sedikit pun menaruh curiga.

“Sudikah Anda menyerahkan uang pembangunan itu kepadaku, untuk kemudian saya letakkan pada tempat yang lebih menguntungkan. Suatu tempat yang sangat indah dan saya jamin untukmu di sisi Allah gedung yang lebih indah dari ini? Bahkan kata indah pun tak cukup mewakili pesona gedung yang kelak akan engkau miliki?”

“Subhanallah, benarkah?” si pemuda terperangah.

“Ya, suatu gedung yang lengkap dengan pelayan-pelayan dari golongan bidadari. Pelayan yang bercahaya dan kubah serta kemah dari sebutir yakut merah bertabur permata. Tanahnya adalah hamparan za’faran. Gedung yang tampak menyala karena dibangun dengan batu bata ari emas dan semennya sewangi kasturi.”

“Subhanallah, adakah bangunan seperti itu?” si pemuda tambah menganga.

“Ya, bahkan lebih megah, lebih luas dan lebih indah dari rencana pembangunan gedungmu ini,” Malik bin Dinar makin semangat menjelaskan.

“Subhanallah,” si pemuda makin berdecak dalam tasbih.

“Bahkan gedung ini tak akan lekang dan ringkih dimakan waktu. Proses pembangunannya pun tak sedikitpun menggunakan tangan,” tambah Malik bin Dinar.

“Adakah bangunan seperti itu dan siapakah yang mampu membangun gedung sedemikian menakjubkan?” si pemuda seolah tak sabar.

“Tentara-tentara Allah yang luar biasa yang hidup dan menyatu dalam kalimat KUN,” tutur Malik bin Dinar.

“Maksud Tuan?” si pemuda tampak kebingungan.

“Ketika Allah berkata Kun! Maka terjadilah gedung itu. Gedung yang tak akan lekang dan ringkih dimakan zaman. Gedung yang proses pembangunannya pun tak menggunakan tangan. Gedung yang lengkap dengan pelayan-pelayan dari golongan bidadari. Pelayan yang bercahaya dan kubah serta kemah dari sebutir yakut merah bertabur permata. Tanahnya adalah hamparan za’faran. Gedung yang tampak menyala karena dibangun dengan batu bata dari emas dan semennya sewangi kasturi,” Malik bin Dinar menguatkan.

“Baiklah Tuan. Biarkan aku sendiri malam ini. Besok Anda boleh datang lebih pagi. Segalanya akan diputuskan besok,” jelas si pemuda.

Malam mendatangi si pemuda dalam kegamangan. Ada keyakinan, kecemasan dan ketakutan yang datang tumpang tindih. Yakin kalau yang dikatakan orang tua asing itu adalah hak. Adalah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Tapi di sisi lain ia pun takut gamang dan bingung. Bagaimana orang tua itu bisa begitu yakin sekiranya ia mempersembahkan seluruh dana pembangunan gedung itu, maka akan di balas dengan gedung yang indah yang ia janjikan itu? Apakah ia pernah mengalami hal serupa sehingga dengan begitu berani sanggup menjanjikan gedung yang luar biasa itu?

Kalau begitu ia pernah melanglangbuana menembus alam nun jauh disana. “Tapi masa sih, ada manusia seperti itu? Sedangkan Hasan al Basri, (lahir 21 H / 642 M) ulama besar pada zamannya, yang hendak meminang Rabi’ah al Adawiyah saja tak mampu menjawab pertanyaan Rabi’ah, apakah ia akan masuk surga dan terlepas dari siksa kubur? Rabi’ah sendiri bilang kalau Hasan Basri sanggup menjawab pertanyaan itu maka ia bersedia dinikahi. Tapi Hasan Basri tak mampu menjawab. Sedangkan lelaki asing ini dengan begitu gagahnya berani menjamin kepadaku gedung yang lebih megah dan indah sekiranya aku dermakan harta untuk pembangunan ini?”

Sebaliknya nun disana Malik bin Dinar memikirkan pemuda itu, dan pada waktu sahur tiba ia banyak berdo’a hingga pagi hari. Usai berdo’a Malik dan Ja’far kembali menemui pemuda itu. Ternyata ia sudah duduk menanti kedatangan Malik dan Ja’far. “Bagaimana, Anda sanggup menjalankannya?” tanya Malik.

“Insya Allah, tapi ada syaratnya,” tegas pemuda itu.

“Maksud Anda?”

“Saya butuh surat perjanjian atas ucapan dan jaminan Anda mengenai gedung yang Anda janjikan itu. Kelak surat ini akan saya sampaikan ke hadirat Allah SWT sekiranya Anda berbohong. Apakah Anda setuju?”

“Baiklah,”

Kemudian surat itu ditulis,

Bismillahirahmanirahim,

Inilah surat jaminan Malik bin Dinar untuk fulan bin fulan : sungguh saya telah menjamin sebuah gedung untukmu di sisi Allah sebagai ganti gedungmu ini, menurut bentuk dan sifat yang telah aku sebutkan dan selebihnya dari itu terserah pada Allah. Dan saya telah membeli untukmu dengan uang ini, gedung di surga yang lebih luas dari gedungmu ini, dibawah naungan yang sejuk di sisi Tuhan Yang Maha Agung.

Kemudian surat itu dilipat dan diserahkan kepada pemuda itu, sedangkan Malik dan Ja’far membawa pulang uang dan membagi-bagikannya hingga pada sore hari tiada tersisa kecuali untuk makan malam.

Setelah empat puluh hari, tiba-tiba Malik dikejutkan dengan kedatangan surat misterius tersebut diatas, waktu ia hendak melaksanakan shalat subuh. Usai shalat, Malik merenung, tak lama kemudian ingatan akan pemuda yang mendermakan uang pembangunan gedungnya menutup perenungannya. Diajak kembali Ja’far pergi utnuk mencari tahu kabar si pemuda. Tak lupa dilipat rapi surat misterius itu dan diletakkan di antara saku bajunya.

Sampai tempat yang dituju, Malik makin terhenyak kaget. Ternyata pemuda itu telah meninggal kemarin subuh. Pada pembantu laki-lakinya Malik bertanya, “Adakah pesan yang ditinggalkan tuanmu?”

Ada. Menjelang kematiannya ia menyuruh saya menulis selembar surat. Dan bila dikuburkan ia meminta meletakkan surat itu bersama jenazahnya,” ujar si pembantu.

“Apakah suratnya seperti ini?” tanya Malik menunjukkan surat misterius itu.

Setelah ditunjukkan tampak air muka pembantu itu kaget, apalagi setelah ia meneliti isinya lebih seksama. “Memang itu suratnya. Tuan dapat darimana?” tanya si pembantu.

“Allah yang mengirimnya,” jelas Malik.

Ruang dan waktu seperti dilipat. Semua yang mengetahui peristiwa di luar nalar ini merinding. Jika jaminan seorang manusia tentang nilai atau balasan sebuah kebaikan saja bukan isapan jempol belaka, apalagi kalau yang menjanjikan itu Allah. Sungguh buang jauh-jauh ketakutan bahwa dengan memberi Anda akan miskin. Allah itu Maha Kay adan akan mengkayakan siapa saja yang membelanjakan harta di jalan-Nya. Bukankah Allah menjamin :

‘Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.’

(QS. Al-Baqarah : 261)

Bacalah...


Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?


Itulah sepenggal ayat yang tertera dalam header blog Nashiyah. Mengapa ayat itu dipilih, karena sesungguhnya ada makna yang luar biasa terkandung didalamnya. ‘Kemunculannya’ pun berbeda dengan kemunculan ayat pada surah-surah lainnya dalam Al-Qur’an.

Dalam Q.S Ar-Rahman, ayat ini berulang hingga 31 kali yang terletak di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia dari keseluruhan yang berjumlah 78 ayat. Dan itu bukanlah suatu kebetulan atau hanya permainan syair belaka.

Surah Ar-Rahman (Arab: الرّحْمنن) adalah surah ke-55 dalam al-Qur'an. Surah ini tergolong surat makkiyah, terdiri atas 78 ayat. Dinamakan Ar-Rahman yang berarti Yang Maha Pemurah berasal dari kata Ar-Rahman yang terdapat pada ayat pertama surah ini. Ar-Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah. Sebagian besar dari surah ini menerangkan kepemurahan Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya, yaitu dengan memberikan nikmat-nikmat yang tidak terhingga baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Dengan berulangnya ayat ini, itu berarti dapat dikatakan bahwa Allah telah menegaskan, ‘Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?’ Telah begitu banyak nikmat Allah yang terlimpahkan pada kita. Walaupun tanpa disadari, kita masih terlalu sering mengeluh atas apa yang kita dapat. Kita masih sering berfikir kalau Allah itu tidak adil dengan kita terpancang pada orang yang mendapat kenikmatan yang banyak melebihi kita. Begitulah, kita manusia sering menilai suatu kenikmatan hanya bersumber dari harta benda yang kita punya. Kita akan merasa bangga dan bahagia apabila berlimpah harta. Sedangkan kita tidak tahu bahwa setiap harta yang kita punya didunia akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat walau hanya sebutir nasi yang kita buang sekalipun.

Kalau mau main itung-itungan, niscaya kita akan malu sendiri bila masih banyak menuntut ini itu pada Allah Sang Pemberi Rizki. Tanpa kita sadari, (memang manusia tidak pernah sadar) kenikmatan yang telah diberikan Allah adalah sangat luar biasa. Kita diperkenankan hidup didunia ini dengan dapat menghirup udara dengan gratis. Membuka mata lebar-lebar dan menyaksikan segala yang ada didepan mata dengan berbagai ragam bentuk dan suasana. Kita diberi kenikmatan sehat, dapat melangkahkan kaki, dapat menghasilkan suatu karya dengan tangan kita, dapat berbicara, mengunyah dan merasakan lezatnya makanan yang masuk dalam mulut kita.

Dipagi hari kita dapat menghirup udara segar, mendengar kicauan burung dan desauan angin yang menyapa dedaunan. Kita juga melihat indahnya matahari terbit dengan merasakan kehangatan sinarnya. Kita merasakan tentram dan damai bersama keluarga dan handai taulan didekat kita. Kita juga dapat merasakan sujud memasrahkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Kita bisa merasakan keagungan-Nya. Itu semua terlepas dari harta benda yang selama ini selalu menjadi tolok ukur kebahagiaan dan kenikmatan dunia.

Tak terbayang jika itu semua tidak kita rasakan didunia. Mungkin dunia ini serasa hampa. Apa gunanya pula jika kita diberi harta benda yang berlimpah ruah, tapi kenikmatan-kenikmatan itu terenggut? Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya jika untuk bernafas saja kita harus bayar? (layaknya orang sakit yang bernafas dari tabung oksigen). Apa jadinya jika kita tidak bisa berbicara, tidak bisa merasakan lezatnya makanan yang masuk ke mulut kita? (layaknya orang sakit yang mendapat asupan makanan dari selang infuse). Apa jadinya bila untuk berjalan pun kita harus berada diatas kursi roda. Apa jadinya bila kita tidak dapat menghasilkan suatu karya dari sepasang tangan kita. Kita tidak dapat menatap dunia karena mata kita telah buta, tidak dapat mendengar karena telinga telah tuli. Kita kesepian, tidak ada sanak famili yang kita kasihi hadir ditengah-tengah kita menghangatkan suasana.

Apa jadinya bila itu semua kita alami walau kita berlimpah harta?!? Apabila dituntut untuk memilih, masihkah manusia mendewakan harta sebagai kadar kenikmatan dunia? Saya rasa orang yang seperti itu adalah orang yang sudah tidak punya hati, tidak punya hati, dan tidak punya hati. Tapi itu semua kembali pada diri kita masing-masing.

Itulah, sinyal Allah yang telah disampaikan kepada kita dalam 31 ayat dalam surah Ar-Rahman. Jangan sekali-kali kufur nikmat. Syukurilah nikmat yang telah diberikan dengan penuh kezuhudan dan penuh ketawadhu’an. Niscaya, Allah akan menambah nikmat-Nya apabila kita senantiasa mensyukurinya…

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Bidadari Syurgaku


Kau bunga ditamanku
Mekar dan kian mewangi
Menghiasi diriku
Dimanapun aku berada
Dilubuk hati ini
Engkau bidadari surgaku

Kepergianku dalam berjuang
Kau antar dengan doa dan senyuman

Pulangpun kau sambut dengan kemesraan
Kemuliaanmu yang penuh ketulusan
Pantaslah bila kuhargai dirimu
Sebagai bidadari syurgaku

Dirimu adalah ....
Anugerah Tuhan untukku
Yang pasti kan ku syukuri
Dan selalu kan kujaga

Anak-anak menjadi penghibur hati
Penentram jiwa
Membuatku rindu untuk berkumpul
Di syurga nanti

Semoga Allah kan mengabulkan
Kerinduan ini
Sehingga kita berkumpul bahagia
Selamanya ...

Tahu syair apa diatas? Itu adalah syair lagunya The Fikr yang berjudul ‘Bidadari Syurgaku’. Sebuah syair lagu yang sarat dengan doa, harapan dan syukur dari seorang ikhwan karena telah mendapatkan anugerah dari Allah. Bunga dihatinya yang selalu menemani dan mendo’akan dalam suka maupun duka, yaitu seorang bidadari syurga. Indah ya? Bagi yang kurang begitu minat dengan lagu-lagu mellow, lagu ini sepertinya sangat cocok. Dengan syair dan musik yang riang, tetapi tidak mengurangi kekhusyukan. Tidak seperti lagu yang hingar bingar memekakkan telinga.

Saya sendiri sangat suka dengan lagu ini, disamping lagu-lagu nasyid yang lain. Bila mendengar, seperti ada semangat baru. Dan tidak dipungkiri, setiap wanita yang mendengarkannya pasti ada rasa dan keinginan untuk menjadi object dari nyanyian tersebut. Betapa tidak??

Bicara soal nasyid, sekarang ini sudah merupakan genre musik yang tidak diragukan lagi. Banyak munsyid yang melanglang buana dengan nasyidnya. Banyak pula menerima penghargaan bergengsi dari berbagai pihak. Begitulah, nasyid adalah jenis musik yang sangat ideal (bagi saya). Bukan hanya sebuah nyanyian yang enak didengar, tapi juga sarat dengan do’a dan hikmah.