y

Semir Sepatu

Kuperhatikan seorang anak usia sekira 8-10 tahun itu. Anak laki-laki. Berbaju seragam, namun nampak sedikit kumal dan kedodoran. Kali kedua siang mataku mengekor apa yang ia lakukan. Tepat jam 11 siang dimana dapat kudengar pula bel istirahat sekolah dasar di depanku itu berbunyi. Seperti pertama kali, kulihat ia keluar dari sekolahnya dengan menenteng dua pasang sepatu hitam berukuran orang dewasa. Sepasang di kiri, sepasang lagi di kanan.

Terburu-buru, namun sangat hati-hati seolah barang bawaan yang ada di kedua tangannya itu bom waktu yang dapat meledak jika terjatuh atau pula terhentak. Sesaat kemudian, diangsurkannya dua pasang sepatu hitam yang tidak hitam itu kepada seorang tua yang cacat. Duduk di sebuah kios sempit di sudut sekolah. Di depan kios itu tertulis ‘SEMIR SEPATU’ dengan goresan cat kuning yang tidak rapi dan kian memudar.
Dengan tangkas orang tua yang tadinya kuduga, namun sudah pasti tukang semir sepatu itu melakukan tugasnya. Disambutnya dua pasang sepatu orang dewasa lalu menyulapnya sehingga menjadi hitam mengkilap. Bocah laki-laki yang sedari tadi kuperhatikan, duduk manis menunggu apa yang tukang semir sepatu itu kerjakan. Tanpa suara, tanpa banyak tingkah. Sesekali kulihat keduanya berdialog, namun sudah pasti tak kudengar sampai sini.


Setelah selesai, dengan segera bocah laki-laki tadi membawanya kembali ke sekolah. Entah mau dikembalikan kepada siapa sepatu-sepatu itu. Kali ini, lebih hati-hati.
***

Sudah genap lima hari kegiatan baruku sebagai detektif pengintai. Bukan penjahat yang kuawasi, namun hanyalah seorang bocah laki-laki yang setiap pagi kulihat pergi sekolah dengan berjalan kaki. Sebelum masuk kelas, satu kebiasaan anak itu yang membuatku tak bisa berfikir. Dia keluarkan sekotak bekal, kuduga, dari dalam tasnya. Lalu diberikanlah kepada seorang tua cacat yang menjadi penghuni kios kecil semir sepatu.

Siang jam istirahat mengantarkan beberapa pasang sepatu orang dewasa yang kumal ke kios kecil sudut sekolah untuk disemir. Belakangan kuketahui bahwa sepatu-sepatu itu adalah milik para guru.

Aku tidak tahu kenapa sang bocah mau melakukan pekerjaan itu. Dan kenapa pula sang guru tega meminta muridnya untuk mengantarkan sepatu-sepatu itu ke tukang semir. Namun sudah pasti hatiku bergumam, anak itu luar biasa. Sudah sangat mulia memperlakukan orang yang dalam hal ini memiliki kekurangan fisik. Siapa lagi kalau bukan sang penyemir sepatu yang kumaksud. Selain itu, dia juga punya sifat penolong. Buktinya mau-mau saja membantu para guru untuk mengantarkan sepatunya untuk disemir. Muridnya yang terlalu baik, apa gurunya yang terlalu malas??

Tak sampai disitu, sepulang sekolah anak itu lagi-lagi singgah di kios semir sepatu. Tak banyak omong seperti biasa, dikeluarkannya lipatan kertas bernominal dari dalam saku baju. Lalu diberikan kepada sang penyemir sepatu. Oh, itu upah untuk jasa semir sepatu dari guru. Itu yang kupikirkan. Ku yakin kau pun berpikiran seperti itu, kan?

Sesaat, anak itu melintas di hadapanku. Kupanggil.

“Dek, haus? Mau es?”

Yang ditanya sejenak mematung, lalu menghampiriku akhirnya.

“Makasih, Kak.”

“Kakak boleh tanya?”

“Tanya apa, Kak?”

“Emm… beberapa hari ini Kakak lihat kamu sering main di kios semir sepatu itu. Sambil bawa sepatu-sepatu orang dewasa. Itu punya guru, ya?”

“Iya, Kak,” jawabnya singkat sambil menghirup dalam-dalam es kelapa muda dengan sedotan.

“Oo, gitu. Kalau yang di dalam kios itu, itu tukang semir sepatu kan?” tak percaya aku menanyakan ini. Jelas-jelas ini pertanyaan bodoh.

Kulihat ia hanya mengangguk sambil terus menyedot es kelapa muda yang hampir habis.

“Kakak perhatikan, kamu baik sekali dengan orang itu. Maaf, orang itu cacat ya? Beruntung ya, masih ada orang yang baik seperti kamu. Kamu mau menolongnya dengan memberikan bekalmu setiap pagi. Siangnya kamu bantu dia nyari order semir sepatu. Kamu dapat upah berapa?” huhh… akhirnya tanya yang sedikit mengganjal di benakku selama ini berhasil kukeluarkan.

Kuperhatikan anak itu berhenti menyedot es. Lalu matanya menatapku tajam. Sambil perlahan senyumnya mengembang, dia menjawab tegas. Bukan keras, tapi tegas.

“Dia ayahku!”

Kulihat es kelapa di tangannya telah habis. Selanjutnya, ia berlalu…

Mendendam, "Memelihara" Kehancuran

Banyak yang tidak menyadari bahwa dendam sebenarnya tidak membawa apapun selain kehancuran. Bukan kehancuran untuk orang yang kita timpakan rasa dendam, melainkan kehancuran untuk diri kita sendiri.
Ali Radiyallahu’anhu dengan tepatnya mengumpamakan, “Memelihara dendam itu seperti diri kita meminum racun, tapi berharap orang lain yang mati.”
Lalu, bagaimana cara untuk melampiaskan emosi yang terpendam karena sering dizolimi?
Terlebih dahulu mari kita membahas beberapa tingkatan orang yang dizolimi.

Tingkatan Orang yang Dizolimi

Level terendah adalah mereka yang dizolimi, kemudian orang-orang ini sulit memaafkan dan memendam dendam.
Level menengah adalah mereka yang dizolimi, kemudian membalas kezoliman itu dengan setimpal sehingga tidak lagi memendam dendam.
Level tinggi adalah mereka yang dizolimi, kemudian memaafkan dengan lapang dada.
Level dahsyat adalah mereka yang dizolimi, kemudian membalas orang yang mendzolimi dengan kebaikan.
Mari kita bahas level demi levelnya! Supaya kita bisa sampai ke tingkat memaafkan dengan lapang dada dan bahkan membalas kedzoliman dengan kebaikan.

Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk terlalu menerima keburukan yang dilakukan orang lain pada kita. Allah Swt membolehkan kita untuk membalas kejahatan dengan setimpal.
Coba simak Quran surat An-Nahl ayat 126: “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu...”
Misalnya kita dipukul, maka balaslah memukul dengan kekuatan seimbang. Kecuali jika kita ikhlas dipukul, dan tidak ada dendam apalagi sakit hati. Artinya, ketika kita dipukul kemudian kita diam saja padahal sebenarnya hati kita merasa benci dan dendam, sejatinya yang menzolimi diri kita bukanlah orang yang memukul, tetapi diri kita sendiri yang membiarkan orang lain memukul kita dengan leluasa.

Bukankah kita adalah pemimpin untuk diri sendiri? Seharusnya kita bertanggungjawab terhadap apapun yang terjadi pada diri kita, jangan selalu hanya menyalahkan orang lain dan merasa dendam, padahal kita memang tidak melakukan apa-apa untuk membela hak kita sendiri.
“Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d 11)
Artinya, Allah meminta kita untuk berinisiatif mengubah nasib sendiri, dengan demikian kita tidak ada hak untuk menyalah-nyalahkan orang lain, dendam kesumat, bahkan bersumpah tidak akan memaafkan orang tersebut. Jadi, penting untuk menyadari di awal... apakah kita benar dizolimi, atau justru kita yang menzolimi diri sendiri?

“Tidak semestinya seorang muslim menghina dirinya. Para sahabat bertanya, "Bagaimana menghina dirinya itu, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Melibatkan diri dalam ujian dan cobaan yang dia tak tahan menderitanya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Maafkanlah, Karena Dendam Hanya Melahirkan Dendam

Ketika kita merasa sakit hati dan tidak memaafkan orang lain, sebenarnya hal tersebut dapat menyempitkan hati kita sendiri. Apakah kita menduga jika perasaan dendam itu dibalaskan maka kita akan menjadi lega? Tidak! Dendam yang dibalaskan akan memunculkan dendam yang lain. Simak Firman Allah Swt berikut ini :
“Hendaklah memberi maaf dan melapangkan dada, tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah?” (Q.S. An-Nuur: 22)
Kita selalu berharap kesalahan-kesalahan kita diampuni oleh Allah. Namun, alangkah baiknya jika terlebih dahulu kita memaafkan kesalahan orang lain, sehingga Allah ridho pada kita dan mau memaafkan kesalahan kita. That's great!

Memaafkan sama dengan membuang beban-beban yang bergelayutan di hati kita. Dengan memaafkan, berarti kita menyerahkan “pembalasan” pada Allah.
“... Akan tetapi jika kamu sekalian mau bersabar atas kedzoliman yang telah mereka timpakan kepada kamu serta dengan itu semua kamu mengharap pahala dari Allah sebagai ganti dari kedzoliman itu lalu kamu pasrahkan dan serahkan semuanya kepada Allah maka itu akan lebih baik bagi kamu sekalian.” (An-Nahl 126)

Tidak Sekedar Memaafkan, tapi Membalas dengan Kebaikan

Rasulullah Saw. telah mampu memberi teladan untuk kita, tidak sekedar memaafkan kezoliman orang namun juga membalas kezoliman tersebut dengan kebaikan.

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap
harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai
saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu
pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka
kalian akan dipengaruhinya”.

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan
membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW
menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan
pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah
SAW.
Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Kisah lain :

Meskipun dilempar batu dan diusir oleh penduduk Thaif, Rasulullah Saw. malah berdoa semoga Allah memberikan keturunan orang-orang yang beriman dari penduduk Thaif.

Kita berharap Allah menempatkan kita di tempat terbaik, dunia-akhirat, maka lepaskanlah rasa marah, dendam, benci, biarkan dada kita lega dan lapang tanpa beban! Jangan lagi memberatkan hati kita dengan memikirkan cara-cara membalas dendam.
Percayalah, kemaafan kita adalah untuk kebaikan diri kita sendiri, bukan untuk kebaikan mereka. Jika benar mereka melakukan kedzoliman, pasti Allah membalasnya dengan adil.

“Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka…”(QS:3:159)

Memaafkan itu melegakan, mari kita menjadi pribadi yang terbiasa memaafkan, sehingga Allah pun mudah memaafkan kesalahan kita. Dan janganlah memelihara rasa dendam, karena sesungguhnya rasa dendam itu perlahan dapat menggiring kita dalam kehancuran.