y

Kedatangan Izrail...


Syahdan, disebuah negeri, tersebut seorang wanita yang kaya raya. Jabatannya berderet, kekayaannya bertumpuk. Tiap pagi hingga petang ia bekerja keras menumpuk harta benda. Tiap petang hingga malam ia membelanjakan kekayaan dan berpesta pora. Dengan kekayaan dan kedudukan yang dipunya ia merasa seolah hidup 'hanya' menjadi miliknya, dan hidup seakan tak akan ada ujung akhirnya.
Suatu malam sepulang dia berpesta, badan terasa letih dan penat, dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri. Dalam pingsan itulah ia didatangi seseorang, yang kepadanya mengaku bernama 'Malaikat Kematian'. Si wanita kontan pucat, gugup tak karuan, sebab dia memang belum siap mati. Ia masih muda, belum maksimal menikmati kekayaannya.
"Apakah kamu akan mencabut nyawaku wahai Izrail?" tanya si wanita, namun hati berharap malaikat tak melakukannya.
Malaikat menggeleng lantas berkata, "Belum tiba waktu kematianmu. Aku datang hanya untuk mengingatkanmu, agar tak terbuai urusan keduniaan sampai melupakan hari kematian." Malaikat Izrail tampak hendak beranjak.
Sebelum Izrail benar-benar pergi, wanita itu berkata lagi, "Wahai Izrail saya berterimakasih atas peringatanmu. Tapi, aku akan lebih berterimakasih bila kamu mau memenuhi satu permintaanku."
"Katakan," jawab si Malaikat.

"Berikan sebuah tanda dan informasi kepadaku, ketika mendekati waktu kematianku," demikian pinta si wanita, dan Malaikat Izrail pun mengabulkannya.
Singkat kata, si wanita kembali sehat lantas aktif lagi dengan segala kesibukannya. Dari tahun ke tahunia asyik menekuni keindahan dunia, menumpuk kekayaan, mengoleksi jabatan, dan lupa mempersiapkan bekal kematian. 'Muda foya-foya, tua kaya-raya, mati masuk surga'. Itulah semboyan yang ia dengungkan. Apalagi, malaikat telah berjanji akan memberi tanda ketika ia mendekati waktu mati.
Pada saat mendekati mati itu, ia bertekad akan taubat, memperbanyak amal sedekah hingga memungkinkannya masuk al-jannah.
Suatu hari, Malaikat Izrail mendatangi wanita tadi. Si wanita bertanya, "Apakah engkau akan memberi tahu bahwa aku sudah dekat dengan kematianku?"
"Aku justru hendak mencabut nyawamu." jawab Izrail singkat, menampilkan wajah angker.
"Bukankah engkau telah berjanji untuk memberi sebuah informasi, bila aku sudah dekat dengan mati?" tanya si wanita dengan ekspresi ketegangan dan ketakutan.
"Aku telah memberimu tanda tapi engkau selalu mengabaikannya. Kau hanya minta informasi satu kali, padahal aku justru memberimu tanda banyak sekali. Rambutmu yang memutih adalah satu tanda kian dekatnya kematianmu. Kulitmu yang kian keriput merupakan informasi bahwa engkau makin dekat dengan mati. Suara dan gerakanmu yang mulai gemetar, juga sebagai lambang pengingat bahwakau makin dekat dengan saat kematian. Tapi, semua tanda dariku tidak menarik perhatianmu. Oleh karenanya, kini sudah tiba saatnya kamu mempertanggungjawabkan kehidupanmu di akhirat sana," Malaikat Izrail mencabut nyawa si wanita dengan kasarnya.

Kisah tadi memang hanya sebuah rekaan, tapi tetap sangat pantas untuk direnungkan. Tentu masih banyak kisah lain yang tak kalah penting untuk direnungi, diresapi, una kian mendekatkan kita kepada Illahi.
Saudaraku sekalian, mati adalah sesuatu yang paling dekat dengan kita. Namun kita tidak dapat melihat dimana dia, sudah sampai dimana mengikuti kita. Tapi Dia-lah yang menentukan kapan kita dihampiri maut...

Dalam Alam Penantian...


Seperti biasa pagi ini aku berangkat kerja. Setelah berpakaian rapi, menuju meja makan maksud hati ingin sarapan. Tapi setelah kubuka tudung saji, baru ku ingat istriku tadi malam pergi kerumah ibu. Rencananya hari ini giliran mas Ali yang berangkat haji setelah dua tahun lalu menghajikan kedua orang tuanya. Yah, mas Ali yang notabene adalah kakak iparku telah berhasil mewujudkan impian orangtuanya. Sedangkan aku? Aku hanya sebagai buruh pabrik makanan instant, mana mungkin bisa sampai seperti itu.

Tapi, ah..semua ini adalah pemberian Allah yang wajib aku syukuri. Meski hidup dalam kesederhanaan, tapi kusadari aku tetap hidup dalam kemewahan. Kemewahan yang tidak semua orang punya. Aku punya istri yang cantik, baik, pengertian, dan insyaAllah sholehah. Rumah mungil inipun serasa menjadi istana yang megah dan indah. Yang diramaikan oleh peri-peri kecil yang lincah dan menggoda mata.Empat tahun menikah, kami telah dikaruniai dua orang anak. Besar harapan kami tergantung pada mereka supaya kelak menjadi anak yang berguna bagi keluarga, agama dan bangsa.Kututup kembali tudung saji itu. Kulirik jam tangan, sudah hampir jam 7. Tidak sempat kalau harus memasak mi atau sekedar menggoreng telur. Kuputuskan pagi ini tidak sarapan.

Aku baru hendak mengambil kunci motor ketika tiba-tiba tubuhku terasa panas dingin. Menggigil... tubuhku seperti membawa beban berat berton-ton hingga aku jatuh tersungkur bersandar pada kursi meja makan. Seketika itu juga aku melihat sesosok bayangan putih yang menghampiriku. Semakin mendekat bayangan itu, semakin menggigil pula tubuhku. Lidahku seperti tercekat. Sejenak bayangan itu berputar-putar diatas kepalaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Saat dia semakin dekat denganku, serasa ingin memasuki tubuhku, kurasakan sendi-sendi tulangku bagai remuk. Bagai ada sebatang kayu berduri tajam dimasukkan kedalam mulutku. Dipaksa...dan setelah masuk kedalam perut, ditarik lagi dengan keras hingga ada bagian tubuhku yang tercerabut dan tersangkut di duri-duri itu. Sungguh sangat luar biasa sakitnya. Tak terasa air mata meleleh, aku hanya menyebut nama Allah berkali-kali dalam hati. Karna hanya itu yang aku bisa lakukan. Aku ingin teriak minta tolong, tapi lagi-lagi lidahku kelu.

Allahuakbar...Allahuakbar..Laailaha ilallah... Apa yang terjadi padaku ya Allah... Sampai saat bayangan itu selesai menunaikan tugasnya, tiba-tiba badanku serasa ringan. Terbang melayang-layang. Masih dengan rasa sakit yang tak terkira akibat perbuatan bayangan yang tak kukenal. Kulayangkan pandangan keseluruh ruangan. Sepi! Hanya ada seonggok tubuh pucat pasi yang terkapar tak berdaya disamping kursi meja makan...
“Pak Adam mengalami serangan jantung, Bu.” kudengar orang berbaju putih itu berbicara pada istriku. Kulihat istriku berada disamping tempat tidur dimana tubuh yang kulihat di ruang makan tadi terbaring. Ada beberapa orang disamping istriku. Imah, kamu menangis, anak-anak menangis, sanak saudara menangis. Aku berusaha menenangkannya, tapi percuma. Aku berusaha bicara pada mereka, tetap masih percuma.

Mereka seakan tidak mendengarku. Bahkan tidak menganggapku bahwa sedari tadi aku berada disini, bersama mereka. Kulirik tubuh itu, kurasakan seketika tubuhku panas. Aku ingin segera diantarkan ketempat dimana aku seharusnya berada... Kulangkahkan kakiku dengan langkah ringan memasuki mobil putih dengan suara menderu-deru. Sesampai dirumah, tubuhku...atau lebih tepatnya jasadku dibaringkan. Kulihat sanak famili mengelilingiku. Kain jarik dibentangkan, air dan sabun telah pula disiapkan. Ketika air menyiram ubun-ubunku, tiba-tiba terdengar suara menggema dari langit. Keras sekali...

"Wahai Adam Anak si Abdulah...
Mana Badanmu Yang Dahulunya Kuat, Mengapa Kini Terkulai Lemah?
Mana Lisanmu Yang Dahulunya Fasih, Mengapa Kini Bungkam Tak Bersuara?
Mana Telingamu Yang Dahulunya Mendengar, Mengapa Kini Tuli dari Seribu Bahasa?
Mana Sahabat-Sahabatmu Yang Dahulunya Setia, Mengapa Kini Raib Tak Bersuara?"

Suara itu terdengar memekik, memekakkan telinga. Kututup kedua telingaku, namun suara itu semakin keras terdengar. Tubuh tak berdaya-ku telah bersih. Kini aku dibawa ke pembaringan, dan siap dikafan. Aku masih saja melihat dan mendengar tangis mereka yang kutinggalkan. Dadaku bergejolak, ingin sekali aku bicara pada mereka. Jangan tangisi aku, bukankah kematian adalah suatu kepastian, yang setiap makhluk hidup pasti akan mengalaminya. Namun, lagi-lagi aku tak kuasa. Kain putih dibentangkan, tali temali telah disiapkan. Apa itu? Aku mendengar suara memekik dari langit...

"Wahai Adam Anak Si Abdullah...
Berbahagialah Apabila Kau Bersahabat Dengan Ridha, Celakalah Apabila Kau Bersahabat Dengan Murka Allah
Wahai Adam Anak Si Abdullah...
Kini Kau Tengah Berada Dalam Sebuah Perjalanan Nun Jauh Tanpa Bekal
Kau Telah Keluar Dari Rumahmu Dan Tidak Akan Kembali Selamanya
Kini Kau Tengah Safar Pada Sebuah Tujuan Yang Penuh Pertanyaan."

Tubuhku kembali menggigil. Aku yang tadinya ingin menenangkan mereka, tapi kini aku disergap rasa takut yang amat sangat. Perjalanan nun jauh tanpa bekal... Apa bekalku ya Rabb... apakah selama ini hidupku adalah sia-sia? Ya Allah, terimalah semua amalku ya Allah. Meskipun itu tiada bandingan dengan nikmat yang telah Engkau berikan...dan ampunilah segala dosa dan khilafku... Kulihat beberapa orang, ah...itu kan si Joko. Dia berdiri paling depan diantara beberapa orang lainnya yang telah berjajar rapi menghadap kiblat. Dihadapan merekalah jasadku terbaring. Aku juga melihat si Firman, si Harun dan... siapa ketiga orang itu. Rasa-rasanya aku belum pernah bertemu dengan mereka.
Ketika takbir terucap, seketika itulah suara dari langit kembali terdengar...

"Wahai Adam Anak Si Abdullah..
Setiap Pekerjaan Yang Kau Lakukan Kelak Kau Lihat Hasilnya Di Akhirat
Apabila Baik, Maka Kau Akan Melihatnya Baik
Apabila Buruk, Kau Akan Melihatnya Buruk."

Aku bingung. Aku berputar-putar menatap langit yang mendung. Kucari sumber suara itu. Tetapi tak kunjung kutemukan dari mana asal suara aneh yang selalu membuatku bergetar ketakutan bila mendengarnya. Jasadku telah berada dalam ruangan sempit yang diusung dan bertandukan empat orang. Satu langkah mereka keluar pekarangan rumahku, saat tiba-tiba kembali terdengar suara memekik dari langit mendung...

"Wahai Adam Anak Si Abdullah...
Berbahagialah Apabila Amalmu Adalah Kebajikan
Berbahagialah Apabila Matimu Diawali Tobat
Berbahagialah Apabila Hidupmu Penuh Dengan Taat."

Kali ini, tak kuhiraukan seruan itu. Aku bimbang bercampur takut. Mau dibawa kemana aku? Ini kan rumahku. Lalu aku tersadar, bahwa aku harus menanti dirumah baruku. Kulihat disana telah menganga sebuah lubang berukuran 2x1m. Tidak luas memang, tidak seluas rumahku yang dulu. Tapi itulah rumahku saat ini...Jasadku yang telah terbungkus oleh kain putih pun perlahan diletakkan ditanah dalam lubang sempit itu. Sekali lagi kudengar seruan agung dari langit, semakin memekakkan telinga. Kulihat mereka yang ada disekitarku tidak merasakan apa-apa. Tidak mendengar yang sedari tadi aku dengar. Aku sudah tidak dapat merasakan tubuhku. Terkulai lemas, masih tetap menggigil ketakutan. Ketakutanku semakin memuncak ketika suara itu menggema...

"Wahai Adam Anak Si Abdullah...
Apa Yang Telah Kau Siapkan Dari Rumahmu Yang Luas Di Dunia Untuk Kehidupan Yang Penuh Gelap Gulita Di Sini?
Wahai Adam Anak Si Abdullah...
Dahulu Kau Tertawa, Kini Dalam Perutku Kau Menangis
Dahulu Kau Bergembira, Kini Dalam Perutku Kau Berduka
Dahulu Kau Bertutur Kata, Kini Dalam Perutku Kau Bungkam Seribu Bahasa."

Masih kudengar tangis pilu sanak saudara yang ikut mengantar kerumah peristirahatanku yang terakhir. Kemudian mereka mulai meninggalkanku sendirian. Satu persatu. Tetanggaku, teman sekantorku, orang tuaku, bahkan istri dan anak-anakku pun meninggalkanku. Kalian mau kemana? Jangan tinggalkan aku sendiri disini. Aku takut... pekikku. Tak seorangpun mendengar. Kegelapan mulai merayap. Rasa takutpun semakin menggerayangiku. Gelap pekat dipandangan. Alam apa ini? Apakah ini adalah yang sering diceritakan orang-orang selama aku masih hidup didunia? Alam penantian yang sangat panjang dan mencekam, tanpa seseorangpun yang dapat dijadikan teman. Alam barzakh-kah ini? Kini aku benar-benar sendiri. Tiba-tiba kulihat dua sosok makhluk berjubah putih mendekatiku. Tak dapat kusembunyikan rasa takutku yang semakin menggila. Tubuhku terguncang-guncang... Bersamaan dengan itu, kembali terdengar suara dari langit. Kali ini, semakin dekat...dan semakin dekat...

"Wahai Hamba-Ku.....
Kini Kau Tinggal Seorang Diri Tiada Teman Dan Tiada Kerabat Di Sebuah Tempat Kecil, Sempit Dan Gelap.. Mereka Pergi Meninggalkanmu.. Seorang Diri Padahal, Karena Mereka Kau Pernah Langgar Perintah-Ku Hari Ini,.... Akan Kutunjukan Kepadamu Kasih Sayang-Ku Yang Akan Takjub Seisi Alam Aku Akan Menyayangimu Lebih Dari Kasih Sayang Seorang Ibu Pada Anaknya".

Dalam sekejab aku merasa berada dalam padang yang luas... kulihat juga disana sini tumbuh pohon kurma yang berbuah ranum. Kulihat disana ada sebuah rumah, rumahku. Ya, rumahku dimana menjadi tempat tinggalku didunia bersama keluargaku. Kumasuki rumah itu, sepi... disana terhampar sebuah permadani indah. Tak sabar, aku tidur diatasnya. Dalam hati aku berucap, akan kutunggu istriku dan anak-anakku menyusulku di rumah ini...

Dia Bukan Teroris!!


Pertama kali masuk kampus UII…Tegang sih, tapi, ah mungkin itu cuma perasaanku saja. Setelah seminggu OSPEK, akhirnya aku resmi menjadi warga kampus ini dan tercatat sebagai mahasiswa. Para mahasiswa disini kayaknya juga alim-alim. Aku memperhatikan sambil meneguk segelas es kelapa muda di kantin samping kampus. Tak kusadari ternyata sedari tadi ada yang memperhatikanku di bangku tengah deretan paling kanan. Kulihat seorang akhwat tersebut menggeser kursi duduknya kebelakang dan langsung menghampiri aku.
“Assalamu’alaikum!” sapa gadis itu.
“Wa’alaikumussalam!” jawabku masih bingung.Kulihat dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sesuatu.
“Afwan, kemarin terjatuh!” katanya sambil menyodorkan sebuah blocknote kepadaku.
“Oh, ya! Terimakasih banyak ya…” balasku sambil mengangsurkan tangan mengambil blocknote tersebut. Ini kan blocknote catatan OSPEK kemarin, kok bisa sampai terjatuh sih? Dimana? Baru saja pertanyaan itu hendak kulontarkan padanya, segera ia mengucapkan salam dan berlalu dengan tergesa-gesa. Alhamdulillah, batinku! Akhirnya ketemu juga.
Pffiiuuhh… capek juga pulang dari kampus. Kurebahkan tubuhku yang lungkrah ini keatas permadani empuk yang sudah sedari pagi tadi kutinggalkan. Tapi pikiranku masih penuh. Aku masih harus mencari kost-kostan di dekat kampus. Soal jarak antara rumahku dengan kampus jangan ditanya. 1 jam perjalanan setiap hari bukanlah perkara sepele. Maka itu aku harus cepat-cepat dapat kost sebelum tugas kuliahku semakin menumpuk. Perlahan mataku terasa berat…..
~~**~~

Acara nyari kost yang sungguh melelahkan. Padahal di kost tu nggak semuanya enak. Apa-apa sendiri, dan memang harus mandiri. Nggak beda donk sama kayak di pesantren.
“Tapi kan mendingan di kost-an. Kalo di pesantren, dari mata melek sampai melek lagi kita sudah ada schedule yang wajib diikuti dan ditaati. Setidaknya kalau disini kita sedikit lebih bebas.” begitu tutur Nur Ichwan Ergin Ramadhani yang akrab kusapa Ergi. Dia adalah seniorku yang rela membagi kamarnya untukku. Lumayan luas dengan 2 tempat tidur, bersih, MCK terjamin. Meski senior, tapi dia nggak ‘sok kaya senior yang lain. Dia baik, tenang, bijaksana, dan yang pasti alim. Percaya nggak percaya ternyata dia adalah ketua umum rohis di kampusku yang kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. Waktu SMP kelas 1, aku sempat mengikuti program Pesantren Kilat di Ponpes desaku. Aku kira disana itu enak, eee…nggak taunya malah bikin stress. Gimana enggak, betul kata Ergi barusan! Dari mulai mata melek sampai melek lagi semuanya sudah diatur. Bayangkan, bangun jam 03.00 dini hari. Lalu sholat malam, muhasabah yang bikin nangis (meski hanya sementara), tadarus sampai subuh. Sholat subuh, dengerin kul en tum (bukan kuliah tujuh menit lagi, tapi kuliah enam puluh tujuh menit!!) begitu seterusnya. Udah tidur kurang, makan nggak enak, kebanyakan kegiatan sih. Sampai sempet sakit segala. Itulah sebabnya kenapa aku anti pati dengan yang namanya pesantren.
Aku baru tahu, kalau Ergi tuh jebolan pesantren juga. Pantesan aja kalau aku ngomongin pesantren dia langsung nyambung. Malah aku pernah dikisahin tentang pesantren yang telah berperan penting dalam hidupnya.

Sejak berumur 7 tahun, Ergi sudah ditinggal kedua orangtuanya. Lalu dia hanya tinggal bersama kakeknya dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan. Akhirnya Ergi diserahkan sepenuhnya ke pesantren agar tetap dapat menuntut ilmu meskipun tidak memiliki biaya yang cukup. Di pesantren Ergi memang mendapat banyak ilmu, ilmu agama khususnya. Namun dengan kondisi seperti itu, Ergi harus bekerja ekstra untuk memenuhi tuntutan pesantren.
Bangun jam 3 dini hari, membersihkan mushola, mengisi air untuk wudhu dan mandi para santri, menyapu halaman, kelas-kelas, aula dan masih banyak lagi pekerjaan yang harus ia kerjakan setiap harinya. Meski para santri juga dijadwalkan untuk membersihkan pesantren, tapi tetap saja bagian Ergi paling banyak. ‘Kalau begini terus, kapan saya belajarnya Pak?’ protes Ergi kala itu. ‘Lho, kenapa? Kamu nggak terima kalau harus membantu operasional pesantren ini? Le, kamu itu disini ibaratnya cuma numpang. Ya jelas beda dong tugas kamu dengan mereka. Tapi kan kamu masih bisa belajar disaat waktu luang kamu, ya to?’ Waktu luang? Kapan? Dari hari masih gelap sampai gelap lagi seolah-olah waktu luang tidak bersahabat dengannya.

“Dasar mata duitan! Kamu tahu Lang, saat itu ingin sekali sapu lidi yang ada ditanganku kulemparkan padanya. Pemimpin tidak adil…” lanjutnya.
“Kenapa tidak kau lakukan saja?”
“Nggak mungkin lah, usahaku untuk protes itu saja kupikir sudah tindakan yang cukup berani untuk seorang bocah sepertiku.” kenangnya.Sekilas kulihat raut wajah Ergi berubah. Raut wajah yang menggambarkan perasaannya. Mungkin marah, sedih, atau menyesal. Menyesal karena telah dilahirkan untuk menjalani hidup yang mungkin tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.Dari sini aku bisa melihat kelelahan yang terpancar dari matanya. Jiwa yang lelah, pikiran yang lelah dan hati yang lelah. Tapi semua itu tidak dirasakannya demi menggapai segala tekad dan harapan yang sudah meleleh dihatinya, mengalir dalam darah merah semerah semangatnya untuk mendapatkan segala asa yang menggantung dibenaknya.
~~**~~

Di kampus, tidak sengaja aku melihat gadis yang menemukan blocknote ku kemarin. Dia terlihat manis dengan baju gamis dan jilbab lebarnya yang berwarna biru muda. ‘Anggun sekali gadis itu’ batinku. Tanpa kusadari, hatiku ingin tahu juga mengenai gadis tadi. Paling nggak namanya siapa…
“Assalamu’alaikum!” terucap sebuah salam dari bibirnya saat kami berpapasan di koridor kampus. Kulihat dibibirnya menyunggingkan senyum manis khas wanita muslimah.
“Wa’alaikumussalam…” jawabku membalas salamnya. Hanya itu yang bisa kulakukan… Andai aku tahu banyak tentangnya, andai Allah… Ah, aku tidak mau berkhayal terlalu tinggi. Nanti kalau jatuh pasti sangat sakit rasanya. Saat pelajaran usai, aku berniat untuk segera pulang dan mengerjakan tugas kampus yang siap untuk aku garap. Saat menyusuri koridor, aku melihat Ergi dengan teman-temannya sedang berkumpul dibangku depan perpustakaan. Aku baru berniat untuk menghampiri ketika ada 3 orang akhwat yang lebih dulu menghampiri mereka. Aku mengurungkan niatku saat kulihat salah satu dari mereka adalah gadis berjilbab biru muda. Mereka kemudian tenggelam dalam diskusi. Akan tetapi tidak lama gadis itu pergi dan langsung diikuti oleh kedua temannya. ‘Kenalkah mereka?’ batinku bertanya.
~~**~~

Sampai kost, kulihat Ergi sudah berada di kamar sedang membaca buku. “Darimana? Kok baru nyampe?” tanyanya melihat aku yang capek dan berpeluh.
“Iya nih, tadi nyari buku dulu muter-muter. Susah banget!”
“Dapet nggak?”
“Alhamdulillah…nie!” Dia hanya melirik dan sepertinya pikirannya masih disibukkan dengan buku yang ada di tangannya. Langsung kurebahkan tubuhku dan kulemparkan ransel yang sedari tadi menggantung dipunggungku kesamping kasur. Aku menghela nafas panjang, mataku terasa berat sekali setelah seharian beraktivitas. Tapi tugas kampus tetep nggak bisa nunggu.
“Huuh…capek nih! Tugas masih banyak lagi…”
“Ya udah buruan kerjain, jangan tidur! Ntar kebablasan malah repot! Kerjakanlah tugas dengan baik mumpung masih ada kesempatan. Jangan sampai kita menyesal esok hari!”Adduh..kalo Ergi udah ngomong gitu, kayaknya dalem banget. Nasehat apa nakut-nakutin ni Mas??
Setelah semua selesai, aku berniat mandi untuk menyegarkan pikiran kembali. Setelah itu barulah aku dan Ergi menunaikan sholat Maghrib berjamaah di mushola sebelah. Selesai dzikir, tanpa terasa kami terlibat dalam diskusi kecil.

“Lang, kamu pernah berfikir nggak bisa mendapatkan penghargaan dunia akhirat?” tanya Ergi padaku membuka diskusi malam itu.
“Apa? Penghargaan dunia akhirat? Maksudnya apa sih?” tanyaku polos tidak mengerti.
“Kita semua sebagai umat manusia bisa mendapatkannya. Asal kita selalu beriman dan bertaqwa kepada Dzat yang telah menciptakan kehidupan di dunia ini.” sambung Ergi.
“Caranya?” tanyaku masih belum mengerti sepenuhnya apa yang sebenarnya Ergi bicarakan.
“Caranya dengan kita selalu mengikuti syariah Islam. Melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Amar ma’ruf nahi munkar. Menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar. Bukan hanya menjauhi, tapi kita juga harus membasmi habis kejahatan dan kemaksiatan yang ada dimulai dari sekitar kita. Karena itulah sumber kemunkaran didunia ini. Bagaimanapun caranya, meski kita harus mengorbankan nyawa sekalipun.” tuturnya panjang lebar.

“Semacam gerakan berani mati?” tanyaku.
“Kenapa? Masih takut? Percayalah, Allah telah berfirman sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”Aku hanya bisa diam saat Ergi mengakhiri kalimat yang barusan ia ucapkan.
“Er, kenapa kamu tanyakan ini kepadaku? Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?” aku berusaha mencari tahu apa sebenarnya maksud Ergi.
Kulihat dia hanya tersenyum tipis. Selalu itu yang dia lakukan bila kutanya sesuatu dan dia tidak hendak menjawabnya. Sayup-sayup terdengar adzan Isya’ dikejauhan. Dan saat itulah diskusi kami berakhir. Kemudian Ergi berdiri dan mengumandangkan adzan dengan hidmat dan penuh syahdu. Kami kembali sholat berjamaah dengan khusyu’. Terasa benar keheningan malam itu.
~~**~~

“Eh, Gilang, ntar abis kuliah lo mau kemana? Nggak langsung pulang kan?” pertanyaan keras Firman sejenak membuyarkan pikiranku tentang diskusiku dengan Ergi tadi malam.
“Emang kenapa? Mau nraktir makan siang dulu?” godaku.
“Yaah, boleh deh! Tapi bantuin gue nyari buku di perpus dulu ya, soalnya gue belum punya, tuh buku kan buat referensi ngerjain tugas kemarin. Lo udah dapet belum?” cerocosnya sambil ngeluarin buku-buku dari ranselnya sebagai bukti kalau dia bener-bener belum punya referensi satu buku-pun.
“Gue juga baru nyari kemarin di toko buku. Iya deh, ntar gue bantu nyari!” Setelah kuliah selesai, kami berdua bergegas ke perpustakaan. Nyari disana, nggak beda sama nyari di toko buku. Tetep susah… Setelah hampir satu jam, akhirnya aku temukan juga buku yang sama persis dengan yang kubeli kemarin. ‘Tau disini ada, kemarin nggak perlu muter-muter dan nggak perlu ngeluarin duit banyak kan’ pikirku.
“Nih, persis sama dengan buku yang gue beli kemarin.” kataku sambil menyodorkannya ke Firman. Sejenak dia memperhatikan dengan seksama sebelum akhirnya berkata, “Ini dia buku yang gue cari. Thank’s ya…Eh, kantin udah nunggu tuh!” katanya konyol padaku sambil memutar-mutar buku diatas jari telunjuk.

Ketika kami menyusuri koridor menuju kantin, kembali aku melihatnya. Seorang akhwat yang selalu mengundang rasa ingin tahuku padanya. Aku hendak bertanya pada Firman siapa gadis itu saat dia menyapa,
“Assalamu’alaikum ukhti Salma!”
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh…” jawabnya lengkap, tak lupa sambil tersenyum manis.
“Eh, lo kenal dia? Sejak kapan? Kok nggak pernah cerita sih?” tanyaku dengan penuh rasa kaget dan nggak percaya kalo ternyata temenku yang satu ini kenal dengan gadis yang selama ini ingin kuketahui siapa dia.“Yaah, gimana sih?! Katanya satu kost sama Mas Ergi, kok nggak tahu menahu gitu?”
“Maksud lo apa sih? Kok bawa-bawa nama Ergi segala? Emang ada hubungannya?” tanyaku dengan penuh ketidakmengertian.
“Waduuh, ni anak kebangetan ya! Ya Allah, bukakanlah jalan fikiran temanku yang satu ini agar dia lebih mengetahui apa-apa yang ada dihadapannya dan apa-apa yang pantas untuk diketahuinya Ya Allah….” kata Firman sambil mengangkat tangan seperti layaknya orang yang sedang berdo’a.
“Eh, serius dong!! Ada hubungan apa mereka berdua?” tanyaku semakin heboh dan masih memendam rasa penasaran yang luar biasa.
“Ya ampun, jadi temen kost satu kamar lo itu bener-bener nggak cerita ya? Kayak gue dong, proaktif mencari fakta-fakta yang tersebar keseluruh kampus. Ni ya, Mbak Salma itu adalah mahasiswi jurusan Teknik Informatika FTI semester 3 di kampus kita. Naah, menurut narasumber yang dapat dipercaya Mbak Salma ini sebentar lagi mau dikhitbah oleh seseorang yang menginginkannya sebagai istri dan pendamping hidup. Karena kira-kira seminggu yang lalu Mas Ro’ib, senior yang satu kost denganku mendampingi ikhwan yang ingin melamar Mbak Salma untuk ta’aruf.“ tuturnya panjang lebar. Sejenak aku terdiam sambil menebak-nebak siapa orang yang ingin melamar Mbak Salma.

“Mau tahu siapa ikhwan yang seminggu lalu melakukan ta’aruf dengan Mbak Salma? Ya temen kost satu kamar lo itu! Ketua umum rohis di kampus kita. Kalau masih nggak percaya, tanya aja ma dia langsung. Udah jelas belum?” sambungnya. Sesaat seperti ada yang memukul kepalaku dengan benda keras. Dan meskipun seporsi mie bakso lengkap dengan daging ayam dan segelas es kelapa muda kesukaanku sudah terhidang didepanku, rasanya aku tak sanggup untuk menyantapnya saat ini. Mendadak aku kehilangan selera makan. Kulihat Firman sudah sibuk dengan hidangan didepannya. Aku undurkan kursi yang sedari tadi aku duduki, berdiri dan pamit pada Firman kalau aku mendadak nggak enak badan. Jadi pengen langsung pulang dan tidur. Sempat kulihat raut wajah bingung dari Firman ketika aku pamit.

“Eh, kok pulang sih? Ni baksonya belum dimakan. Kalau gitu buat gue aja ya Lang!” katanya menanggapi. Aku hanya bisa mengangguk perlahan sambil melangkah cepat keluar kantin.Dalam perjalanan pulang pikiranku penuh sesak layaknya bis yang kunaiki dipenuhi oleh para penumpang. Memang benar aku akhirnya mengetahui siapa gadis yang aku kagumi itu, namanya, jurusannya, semester berapa. Tapi bersamaan dengan itu pula aku mengetahui berita yang membuatku cukup shock. Salma, gadis yang sangat kukagumi dan aku berharap bisa lebih dekat dengannya ternyata sebentar lagi akan dikhitbah oleh teman kost satu kamarku sendiri. Dan anehnya aku mengetahui ini bukan dari Ergi sendiri, tapi dari orang lain. Ya Allah…
~~**~~

“Hei, Gilang bangun. Udah sore, udah sholat Asar belum?” sayup-sayup kudengar suara Ergi membangunkanku. Sesaat kubuka mataku yang masih ngantuk.
“Hmm…jam berapa nih?” tanyaku setengah sadar.
“Jam 5 lewat, buruan jangan sampe telat. Wudhu di mushola sekalian.” Aku bangun dan duduk menyandar di tembok sambil mengerjapkan mata berkali-kali.
“Kenapa? Nyawanya belum kumpul ya?” ledek Ergi.Ergi, dia bukan sekedar sahabat bagiku. Dia baik, bijaksana, pandai menyelesaikan masalah, sering memberi nasihat tanpa maksud menggurui. Dan itulah yang kukagum padanya. Nggak salah dia mendapatkan seorang wanita yang kukagumi pula. Dalam hati aku mendoakan semoga pernikahan mereka kelak diberkahi Allah dan menjadi keluarga yang sakinah. Tapi, perasaanku tidak dapat dibohongi. Aku yakin ada rasa yang aneh dan rasa sedikit kehilangan bila mengingat Salma akan segera menjadi bagian dari hidupnya.

“Udah hampir sepuluh menit kamu duduk melamun, kalau digunakan berjalan ke mushola aku rasa udah sampai dari tadi!” tegurnya.Bergegas aku mengambil sarung dan pergi ke mushola.
Setibanya di kost, kulihat Ergi sibuk menyeterika baju yang menumpuk. Dia hanya melirik saja saat aku masuk kamar.
“Banyak banget seterikaannya!”
“Pantes banyak, beberapa waktu kedepan kan bakalan sibuk jadi nggak sempet nyeterika kan?” pancingku. Dan ternyata Ergi hanya diam menanggapi perkataanku barusan.
“Iya, soalnya kan harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk acara khitbah dalam waktu dekat ini. Iya kan?” tanyaku lagi. Mendengar kalimatku ini, dia langsung menoleh kearahku dengan pandangan yang bertanya-tanya.
“Darimana kamu tahu?” akhirnya dia menanggapi juga.
“Darimana aku tahu? Kayaknya akan lebih aneh kalau aku bilang aku tahu dari orang lain dan bukan dari orang yang bersangkutan langsung. Padahal kalau dipikir, dia itu satu atap denganku!!” sergahku dengan sedikit jengkel. Sejenak dia menghentikan kegiatannya.
“Gilang, maafkan aku kalau kamu lebih dulu tahu soal ini dari orang lain dan bukan dari aku. Tapi aku sungguh tak bermaksud merahasiakan ini dari kamu. Tapi sekarang kan udah jelas, jadi nggak ada masalah dong. Oiya, acara khitbah Insyaallah akan dilaksanakan 2 minggu kedepan. Kamu ikut ya.”

Aku hanya diam mendengarnya. Meskipun aku turut mendoakan supaya pernikahan mereka diberkahi, tapi aku masih merasa cemburu. Mengingat wanita yang akan dijadikan istrinya itu adalah Salma. Wanita yang selama ini diam-diam aku kagumi.
“Eh, kamu sudah tahu belum…”
“Sudah!” kataku memotong perkataannya yang aku yakin dia akan menanyakan aku sudah tahu belum tentang calon istrinya itu.
“Er, kamu memang pantas mendapatkan istri seperti Salma. Dia baik, dia cantik, dia solehah. Aku hanya bisa kasih doa semoga pernikahan kalian diridhoi Allah.” sambungku. Lalu aku berdiri dan pergi ke kamar. Sekilas aku melihat Ergi berubah raut wajahnya. Dia menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti sepenuhnya. Merasa bersalahkah ia padaku, tapi atas dasar apa? Toh dia tidak tahu perasaanku pada Salma.
Setelah selesai menyeterika, Ergi lalu menata bajunya dilemari. Aku berpura-pura sibuk dengan tugasku.

“Kamu kenal dengan Salma?” tanyanya membuka pembicaraan.
“Nggak, cuma tahu aja. Dulu dia pernah menemukan blocnote-ku yang ternyata terjatuh di kampus. Lalu dia menyerahkannya padaku. Itu saja!”
“Dia itu, wanita yang dikenalkan temanku padaku. Dia wanita yang gigih dan pantang menyerah. Disini dia kuliah dengan tekad dan harapan yang besar. Aku salut padanya.”Memang cocok denganmu Er, kamu juga orang yang gigih dan pantang menyerah.
“Itukah yang membuat kamu berniat untuk menikahinya?”
“Bukan hanya itu, tapi itulah salah satunya.”
Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya. Lalu ia melanjutkan menata baju di lemari.
~~**~~

Perlahan aku membuka mataku. Gelap! Ternyata diluar gerimis. Jam berapa ini? Aku mengambil jam beker diatas meja. Dengan bantuan remang-remang cahaya dari atas jendela akhirnya aku tahu juga saat itu pukul 3 tepat dinihari. Shubuh masih satu jam lagi. Aku berniat mengambil senter, karena kebetulan aku pengen kebelakang. Aku bangunkan Ergi dimana ia tadi tidur disampingku. Mana dia? Kok nggak ada? Lalu aku mengambil senter dan segera kuarahkan ke tempat dimana tadi Ergi tidur. Benar saja, kasurnya kosong. Pergi kemana dia malam-malam gerimis begini?

Setibanya dari toilet, Ergi belum pulang. Mata udah nggak bisa merem. Tak terasa aku memikirkan sahabatku itu. Selama bersahabat dengannya, hampir tidak pernah aku dirugikan olehnya. Malah sebaliknya, banyak pelajaran hidup yang kuperoleh dari Ergi. ‘Hidup itu sebuah proses. Masalah kita berhasil atau tidak, ya tergantung bagaimana kita dalam mengikuti proses tersebut. Sesuai prosedur atau cuma ngawur. Secara kita sudah disediakan buku pedoman dan prosedur bagaimana untuk menjalani hidup ini dengan benar supaya nggak kesasar!’ begitu katanya kala itu. Ergi juga menerapkan, kita berani karena benar, takut karena salah. Bukannya takut salah atau takut mengakui kesalahan. Benar juga….
Jadi inget waktu kejadian di bis 3 hari lalu. Waktu itu kami pulang berdua dengan naik bis. Karena sudah penuh sesak, kami terpaksa berdiri. Dalam keadaan seperti itu aku sempat berfikir, kalau disini ada orang yang suka menggunakan kesempatan dalam kesempitan pasti nggak akan ketahuan. Lihat saja, dengan keadaan penuh dengan penumpang dan barang seperti ini mustahil seseorang akan memperhatikan kantong mereka. Lebih mungkin mereka disibukkan dengan bagaimana mencari pegangan saat pak sopir mengerem dan menginjak gas supaya tidak terjatuh bergulingan dalam bis dan tidak menerima tatapan aneh dari sesama penumpang.

Barusaja aku membuang jauh-jauh pikiran itu, tiba-tiba Ergi yang sedari tadi berdiri dibelakangku menarik lengan seseorang dan langsung memukulnya tepat dibawah wajahnya. Aku yang melihat kejadian itu, kontan terkejut.
“Eh, kamu apa-apaan sih Er??” sergahku pada Ergi.Tanpa berkata apa-apa, dia langsung merampas dompet yang ada ditangan orang itu dan menyerahkannya padaku. Sejenak aku terdiam. Haa?! Itukan dompetku! Segera saja aku tahu apa yang barusaja terjadi. Pikiranku tadi telah menjadi kenyataan rupanya, dengan mangsa…ya aku sendiri. Ya Allah, untung Ergi mengetahui niat jahat orang itu. Kalau tidak, aku bisa tidak makan 3 hari. Terimakasih ya Er, aku udah ngira kamu suka mukul orang tanpa sebab. Dia emang berani, karena benar. Sejak saat itu, aku menjadi lebih berhati-hati. Baik dengan keadaan maupun dengan pikiranku sendiri.
Sayup-sayup kudengar suara adzan berkumandang. Sudah shubuh rupanya. Aku bergegas mengambil sarung hendak pergi ke mushola. Didepan aku bertemu dengan ibu kost. Sepertinya beliau mau pergi ke pasar. ‘Pagi buta begini??’ batinku.

“Mau ke mesjid ya le?” tanyanya padaku.
“Eh, iya Bu.” jawabku. Rupanya ibu kost mau menjual hasil panen kangkung dibelakang rumah kemarin. Aku dan Ergi-pun kemarin turut membantu memanen kangkung. Lumayanlah, didapur masih ada persediaan untuk 2 hari kedepan. Siap-siap ngantuk aja…
“Oya, Bu. Kok Ergi tadi di kamar nggak ada. Kira-kira pergi kemana ya?” tanyaku terus terang.
“Oo, paling ada keperluan mendadak lagi. Dia anaknya memang sibuk. Ibu sendiri sampai heran. Bukan satu dua kali dia pergi malem pulang pagi, tapi udah sering. Kalau ditanya, pasti ada urusan penting ndak bisa ditunda. Tadi sih sama temannya. Maklumlah, dia itukan mahasiswa pinter jadi mungkin dibutuhkan dimana-mana gitu ya…!” jelasnya.
“Oh, kalau begitu terimakasih ya Bu. Mari…” ucapku mengakhiri pembicaraan.
~~**~~

Setibanya di kampus, aku bertemu Ergi.
“Er, eh, tadi malem kamu kemana? Pergi nggak bilang-bilang!” tanyaku. Dia hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
“Tadi malam aku ada urusan, mendadak. Jadi nggak sempet bangunin kamu. Lagian kenapa sih? Takut tidur sendiri?” ejeknya.
“Malah ngeledek. Oya, kata ibu kamu sama temen ya? Siapa?”
“Mereka seangkatanku!”
Lalu dia mendahului aku. Aku hanya bisa memandangnya dengan bingung. Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh padaku.
“Ntar pulang jam berapa?”
“Jam 1, emang ada apa?”
“Bisa aku ajak ke rumah temen sebentar?”
“Kemana?”
“Bisa nggak? Kalau bisa tunggu di depan perpus ya!” lanjutnya sambil berlalu. Setelah sekitar limabelas menit menunggu, akhirnya kulihat Ergi dengan beberapa temannya keluar dari kelas. Aku kira aku mau diajak pergi kerumah mereka. Tapi setelah Ergi dan temannya itu berpisah, aku baru tahu kalau bukan rumah mereka yang akan kami tuju. Ergi lalu mengajakku keluar kampus dan segera menuju ke rumah temannya.
Kami menyusuri gang sempit dan becek karena terguyur hujan tadi malam. Langkah Ergi cepat dan panjang, aku sampai ketimpangan mengikutinya. Gang ini terlalu sempit untuk dua orang yang berjejer, maka aku terpaksa berjalan dibelakang Ergi dengan tergesa-gesa agar jangan sampai tertinggal.

Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya langkahnya terhenti didepan sebuah rumah kecil berbata merah yang sengaja tidak dipoles dengan semen dan cat layaknya rumah-rumah sebagaimana mestinya. Setelah mengetuk pintu beberapa kali dan mengucapkan salam, akhirnya pintu itu terbuka. Ergi langsung masuk dan duduk setelah dipersilahkan. Kemudian mereka memperkenalkan diri padaku. Yang satu lelaki paruh baya, agak jangkung, dan penampilannya perlente. Aku tidak terlalu dengar saat ia menyebutkan namanya. Tapi aku rasa dia bilang ‘Jhon’. Ya, mungkin itu namanya. Laki-laki yang satunya, juga memperkenalkan diri. Dia lebih muda, tapi tidak jangkung. Penampilannya terkesan apa adanya.Dan jelas dia menyebutkan namanya ‘Fauzan’. Setelah memperkenalkan diri lalu si Jhon tadi menjamu kami dengan segelas teh pahit dan beberapa potong pisang rebus. Selanjutnya mereka terlibat dalam diskusi yang tak kumengerti. Sudah hampir 1 jam lebih mereka berdiskusi. Akhirnya saat-saat yang kutunggupun tiba. Setelah selesai dengan urusannya, Ergi pamit pulang. Kamipun kembali menyusuri gang sempit dan becek.
~~**~~

Sepanjang jalan sampai di kost aku tidak berkata apa-apa. Begitu juga dengan Ergi. Mungkin kami kelelahan setelah berjalan cukup jauh. Sebenarnya aku ingin sekali menanyakan apa yang dibicarakan dengan temannya tadi. Saat ada kesempatan, aku langsung bertanya, “Er, tadi apa yang kalian diskusikan? Kayaknya penting banget. Aku nggak ngerti deh!”
“Bukan apa-apa.” Jawabnya singkat. Apa maksudnya? Aku hanya bisa menghela napas panjang mendengar jawabannya itu.
~~**~~

“Tolong, jangan pecahkan barang-barang saya… saya janji lusa akan saya bayar. Beri saya tempo…tolong…”
‘Prraaanngg!!!’ kemudian terdengar benda pecah berantakan. Aku dan Ergi seketika terbangun dan keluar guna memastikan apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ternyata itu suara induk semangku yang….sepertinya ditagih utang sama orang-orang yang berdiri dihadapannya.
“Halah!! Heh, kalau nggak bisa bayar nggak usah ngutang sekalian! Kemarin minta tempo, setelah dikasih malah minta tempo lagi. Sekarang bayar utangmu yang dua juta sekaligus dengan bunga yang 40% perbulan itu. Gampang kan!?! Jangan sampai kesabaran kami habis ya!!!”

Masyaallah, hutang dua juta dengan bunga 40% perbulan?? Hampir setengahnya! Ini namanya sudah lintah darat. Bagaimana bisa ibu kost terlilit hutang dengan para rentenir itu. Apa kiranya dengan hasil menyewakan kamar pada para mahasiswa masih kurang untuk mencukupi hidup yang hanya dua orang. Tapi kan kami tidak pernah nunggak sampai berlama-lama.
Kami berdua hanya bisa melihat kejadian itu didepan pagar rumah ibu kost dengan mengintip lewat jendela rumah. Saat aku menoleh, Ergi sudah tidak ada disampingku. Waduh, kemana dia? Terlihat tangan salah seorang dari rentenir itu mengambil vas dan akan dibanting didepan ibu kost. Dengan tiba-tiba Ergi datang dan menampik tangannya hingga vas terlempar jauh kesamping. Kontan saja aku terkejut melihat kejadian itu. Semakin tidak percaya, saat Ergi tiba-tiba merogoh kantong jaketnya dan kemudian mengeluarkan segepok uang seratus ribuan.

“Bisa nggak kalian lebih sopan dalam memperlakukan orang lain?? Ini kan yang kalian mau?” katanya sambil melemparkan uang tadi diatas meja. Haa!? Dari mana dia punya uang sebanyak itu? Selama ini kan keadaan keuangannya nggak jauh beda dengan keuanganku. Selalu pas dan jarang kelebihan duit. Aku nggak habis pikir! “Semuanya tiga juta! 2.800.000 untuk melunasi hutang beserta bunganya, dan sisanya, anggap saja sebagai denda keterlambatan!” kata Ergi dengan tenang namun tetap siaga. Kemudian orang yang berjaket kulit hitam mengambil uang itu dan langsung menghitungnya. Lalu mereka tersenyum puas atas apa yang mereka dapat.
“Hmm, anak muda! Ternyata kau…”
“Bukankah kalian sudah dapatkan apa yang kalian mau?. Sekarang saya minta kalian pergi dari sini dan jangan banyak omong. Atau mulut kalian akan aku sumpal dengan pecahan beling ini…!” kata Ergi memotong perkataan orang itu dengan tidak kalah ketus. Lalu mereka pergi karena memang yang mereka inginkan sudah didapatkan. Mungkin sebenarnya hati mereka jengkel juga karena telah diancam oleh seorang anak muda seperti Ergi. ‘Kadang, mengancam itu perlu untuk melindungi diri dari kesewenang-wenangan.’ begitu kata Ergi beberapa waktu lalu.

Aku masih berada diluar saat insiden itu terjadi. Lalu aku masuk rumah dan membantu menenangkan ibu kost dan membereskan barang-barang yang berantakan dilantai. Sejenak aku melihat kesedihan dan ketakutan pada sorot mata pasangan suami istri itu. Aku jadi ingat bapak ibu dirumah.
Aku hanya bisa berpandangan dengan Ergi. Sepertinya dia tahu, akan banyak pertanyaan yang aku lontarkan kepadanya setelah kejadian ini. Pertanyaan pertama sudah terjawab mengenai ibu kost yang terlilit hutang dengan para lintah darat itu. Ternyata adiknya yang ada di Solo mau dioperasi. Dan uang itu untuk membantu biaya operasi, mengingat ibu kost adalah anak tertua yang selayaknya membantu beberapa adiknya yang membutuhkan uluran tangan. Lalu beberapa pertanyaan berikutnya yang masih menggantung dalam pikiranku? Cukup aku simpan saja, kalaupun aku tanyakan pada Ergi aku sudah bisa menebak apa jawabannya. Kalau bukan, ‘Nggak penting!’ ya ‘Nanti kamu juga tahu. Sekarang belum saatnya.’ Kenal betul aku watak sahabatku yang satu itu…
~~**~~

Hari ini di kampus ada pengajian akbar yang digelar di aula. Baguslah, jadi hari ini kan tidak harus menghadapi pelajaran dan dosen yang membosankan. Sepuluh menit lagi acara akan dimulai. Sudah banyak mahasiswa dan para dosen yang berkumpul dan duduk dikursi masing-masing untuk mengikuti pengajian akbar guna menyambut datangnya bulan Ramadhan tahun ini. Ya, kita semua memang butuh spirit rohani untuk dapat menjalani Syahru Al Mubarokah ini. Aku, Firman dan teman- temanku yang lain sudah mendapatkan tempat yang nyaman dan siap mengikuti acara.

Di barisan akhwat, tiga baris dari depan aku melihat Salma. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihat dia. Meski sebentar lagi akan menjadi istri sahabatku sendiri, jujur perhatian dan kekagumanku padanya tidak berkurang sedikitpun. Kemudian aku ingat Ergi. Dimana dia? Dengan menjabat sebagai ketua umum rohis, seharusnya dia kan ada diacara-acara seperti ini.
Sejenak aku memperhatikan Salma kembali. Dia dari tadi hanya menunduk saja. Lalu Firman menyenggol lenganku. Aku sedikit terkejut.

“Heh, ngapain lo? Ngliatin siapa? Serius amat!” tanyanya curiga.Aku hanya bisa mengalihkan pandangan cepat-cepat dan tidak menanggapi pertanyaan usil dari Firman.
Sesaat pembicara sudah naik panggung diiringi dengan musik yang wuuh… menentramkan jiwa. Kami semua menyimak ceramah dari H. Ahmad Bashori dengan seksama.
“Sebentar lagi umat islam diseluruh belahan dunia akan menjalani satu bulan penuh berkah. Bulan penuh diskon. Diskon pahala besar-besaran, dengan bonus tidak main-main. Kita umat islam yang taat beribadah dan senantiasa bertaqwa kepada Allah akan mendapatkan diskon pahala dan bonus yang luar biasa. Apa bonusnya? Yaitu malam Lailatul Qadr. Malam seribu bulan….” begitulah penggalan ceramah dari pak haji yang menyedot perhatian semua jamaah pengajian.

Tak sadar mataku beradu pandang dengan seseorang yang membuat hatiku teduh bila melihatnya. Dengan segera ia berpaling dan menundukkan kepalanya kembali. Ya Allah, sesaat aku melihat matanya yang indah berubah sembab kala itu. Bukan hanya sembab, tapi juga sepertinya menyimpan beban masalah yang membuatnya sedih. Tapi apa? Andai aku bisa membantunya…
“Eh, lo ngliatin Salma ya? Heh?! Waduuh, kacau nih! Calon istri sahabat sendiri mau diembat juga!” sergah Firman yang ternyata sedari tadi memperhatikanku. Mendengar itu, kontan saja aku terkejut setengah mati. Aku harus segera mencari jawaban yang tepat supaya si Firman ini nggak mikir yang nggak-nggak. “Astaghfirullah, jangan sembarangan dong. Aku kan masih tahu batasan-batasan.” jawabku masih berusaha untuk tenang.
~~**~~

Kupercepat langkahku supaya segera sampai ke kost. Meskipun cuma duduk mendengarkan ceramah ternyata melelahkan juga. Sampai kamar, aku harus segera menyelesaikan semua tugasku. Kulihat Ergi sudah berada disana sedang sibuk membaca buku yang kemarin aku lihat. ‘Be Mujahid, It’s Me!!, begitulah judul buku yang sedari tadi sibuk dibacanya. Segera kukeluarkan buku-buku tugasku dan langsung kukerjakan. Setengah perjalanan, pulpenku macet. Aku geleng-geleng kepala saking jengkelnya. Baru seminggu yang lalu aku membelinya, udah abis aja. Aku celingukan mencari pulpen cadangan. Nampaknya Ergi mengamati gerak-gerikku. Lalu kulihat ia membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah kotak kecil panjang. Tiba-tiba dia menyodorkannya padaku. Aku belum menerimanya karena masih belum mengerti apa sebenarnya maksudnya.

“Ini ada hadiah kecil untukkmu.” katanyaAku menerimanya dengan penuh rasa penasaran. Apa maksudnya?
“Emang aku ulang tahun ya?” tanyaku heran. Segera aku membuka kotak itu. Ternyata didalamnya sebuah pena, indah. Dengan warna keperakan dengan cincin-cincin kecil berwarna merah maroon melingkar ditengahnya.
“Kemarin aku lewat depan toko lalu aku lihat pena itu. Kupikir nggak ada salahnya kan aku memberikannya padamu? Terserah kamu mau menganggap itu sebagai apa. Hadiah, tanda persahabatan atau kenang-kenangan.” lanjutnya. Aku masih memperhatikan benda panjang itu. Pas banget, kebetulan tintaku habis.

“Ya ampun, makasih banyak ya Er. Ini kuanggap sebagai tanda persahabatan kita. Pas banget sih, kaya sinetron aja. Tuh pulpenku abis.” kataku.
“Kenapa nggak dianggap kenang-kenangan?” tanyanya.
“Yaah, mungkin sekarang belum saatnya. Kelak kalau kita berpisah setelah menyelesaikan studi dan kembali ke rumah masing-masing, naah, mungkin itulah benda ini berubah status. Sebagai tanda persahabatan sekaligus kenang-kenangan.”
“Ya, siapa tahu kita sebentar lagi akan berpisah. Nggak mesti nunggu besok-besok kan?”Aku hanya terdiam mendengar perkataannya barusan. Seperti masih ada yang disembunyikan.
~~**~~

Seperti biasa, sepulang dari kampus langsung kurebahkan badanku di kasur. Lelah sekali rasanya. Sudah tiga hari ini aku tidur sendiri. Ergi sedang pergi ke Semarang. Katanya keluarganya ada hajatan. Sepi juga nggak ada dia. Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan kepadanya. Mengenai Salma, yang akhir-akhir ini kulihat dia tidak seindah dulu. Sering kelihatan kalau di hatinya terpendam suatu masalah yang cukup berat. Meskipun dia selalu saja menyembunyikannya pada setiap orang yang ditemuinya. Pasti Ergi tahu masalah ini, batinku. Dia kan, calon suaminya.Petang ini, selesai mengerjakan tugas kuliah aku pergi ke mushola untuk sholat Maghrib. Segera aku mengambil sarung dan bergegas menuju masjid. Ditengah jalan, aku melihat serombongan bapak-bapak yang akan pergi ke masjid juga. Heran, perasaan kemarin-kemarin nggak seramai ini. Apa karena mau bulan puasa? Tapi ternyata di mushola dekat kosan ku itu sedang diadakan pengajian.

“Assalamu’alaikum Mas Gilang..” sapa salah seorang dari mereka.
“Wa’alaikumussalam Pak..” jawabku.
“Mau ke mesjid juga ya? Lho, mas Erginya mana? Biasanya kan bersama-sama pergi ke mesjid?” Tanya yang lain.
“Iya, Pak. Ergi sudah tiga hari pergi ke Semarang. Katanya keluarga disana ada yang hajatan.” Jawabku.
“Oo…mari Mas Gilang, kami duluan ya..!”
“Eh, iya Pak. Silahkan..” Kulihat di teras masjid banyak anak muda yang sedang ngobrol. Remaja putri maupun yang laki-laki, jadi satu. Astaghfirullah…batinku.

“Assalamu’alaikum,” ucapku.
“Wa’alaikumussalam, Mas..” jawab mereka serentak.
“Kenapa masih diluar?”
“Eh, iya Mas. Ini, lagi cari angin..”
“Kalau gitu, saya duluan masuk ya..Mari…”
“Iya, mari..” jawab mereka lagi-lagi dengan serentak. Aku melangkah memasuki masjid yang baru tiga shaf depan terisi. Kuucap bismilah dan serangkaian do’a masuk rumah Allah ini. Segera aku mengambil shaf paling depan dan melakukan sholat tahiyyatul masjid. Setelah iqamat berkumandang, semua jama’ah masuk masjid dan melaksanakan sholat Maghrib. Setelah itu, aku hendak pulang. Tapi ternyata acara langsung disambung dengan pengajian. Tapi rupanya ini sengaja, diharapkan semua jama’ah bisa sholat Maghrib dan Isya’ di masjid secara berjama’ah. Sehabis Maghrib ternyata tidak langsung diisi ceramah. Melainkan diisi dengan tilawah dan diskusi. Namun setelah sholat Isya’ pengajian kembali dilanjutkan. Kulihat sudah beberapa yang keluar, mungkin mau pulang atau kebelakang untuk cuci muka. Beberapa lagi dibelakangku kudengar asyik ngobrol sendiri. Disudut lain, kulihat ada yang malah sudah tertidur lelap. Tapi tidak sedikit juga mereka yang masih serius menyimak ceramah yang diberikan oleh Pak Ustadz. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sebenarnya bosan juga, ngantuk lagi. Pengen kebelakang, tapi aku berada di shaf depan. Aku tidak mau kalau harus melangkahi jama’ah lain. Ternyata tidak lama kemudian, pengajian selesai. Setelah bersalaman dengan beberapa orang, aku langsung bergegas pulang menuju kost. Lelah, penat, ngantuk jadi satu. Di teras masjid masih kulihat beberapa pemuda tengah asyik ngobrol.

“Mau pulang ya Mas Gilang?” Tanya salah seorang remaja putri padaku.
“Iya, kok nggak didalem?” tanyaku.
“Ini, Mas…lagi cari angin..” Cari angin? Nggak takut masuk angin apa kok dari tadi alasannya cari angin. Orang dari tadi aku masuk sampai pengajian selesai mereka juga masih diluar. Dasar ABG…
“Mari, saya duluan ya. Assalamu’alaikum,” ucapku.
“Wa’alaikumussalam..” jawab mereka tidak lupa dengan serentak.
“Cakep ya..?” Kudengar salah seorang remaja putri berujar setelah aku sudah beberapa langkah meninggalkan mereka. Siapa yang cakep? Saya?!#@%*
~~**~~

Aku menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba ada rasa rindu kepada kedua orang bapak ibuku dirumah. Sedang apa ya mereka? Aku baru sadar, sudah sebulan lebih aku tidak pulang. Ahh…kesibukanku di kampus yang membuatku tidak bisa pulang bu… Maafkan aku… tanpa sadar air mataku menetes. Aku benar-benar rindu… Aku janji pak, bu, sebelum Ramadhan aku akan pulang. Perlahan mataku terpejam.Kudengar samar-samar suara letupan pistol dan ramai orang-orang berteriak. Ah, kukira ini hanya mimpi karena aku terlalu lelah. Tapi seketika kudengar suara ibu kost. Segera aku membuka mata dan mendengarkan lebih seksama. Benar, itu suara ibu kost yang sedang…aku segera keluar bermaksud melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kubuka pintu, dan aku melongok keluar. Kulihat diluar banyak sekali orang. Dan..polisi. Polisi?! Apa yang terjadi? Kulihat disana ibu kost sedang berbicara dengan beberapa orang. Sepertinya ngotot sekali dan berusaha meyakinkan sesuatu pada mereka. Disana juga ada beberapa mobil patroli berjajar. Tiba-tiba salah seorang dari mereka yang memegang pistol melihatku.

Tiba-tiba.. ‘Tarr..!! Prangg…!!’ satu peluru meluncur dan tepat mengenai kaca jendela. Pecah berantakan… Aku hanya bisa terpaku sejenak, tak tahu apa yang terjadi bila sebutir peluru itu bersarang di kepalaku. Ya Allah, terimakasih telah Engkau hindarkan dari peluru itu.Aku hendak keluar, tapi kulihat orang itu mengejarku. Aku jadi berbalik arah dan mengambil langkah seribu. Aku keluar rumah melewati jendela kamar. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku terus berlari dalam gelap melewati ladang yang penuh dengan pohon pisang. Banyak juga tanaman lain yang tumbuh disitu. Tidak terkecuali tumbuhan berduri. Kurasakan kakiku perih dan nyeri. Tapi aku terus berlari. Kulihat dibelakangku beberapa orang mengejar sambil sesekali melepaskan tembakan yang diarahkan kepadaku. Untunglah tidak satupun yang tepat sasaran. Mungkin karena medan yang kami lewati dan gelapnya malam yang menghalangi pandangan dan konsentrasi mereka.

“Berhenti!! Kami polisi!! Jangan sampai kesabaran kami habis, berhentilah dan menyerahkan diri!!” Aku masih terus berlari, beberapa kali aku terjatuh terjerembab ke tanah yang keras. Kurasakan nyeri di kakiku semakin bertambah. Aku berhenti dan berlindung dibalik pohon nangka. Bersandar sambil sesekali menoleh ke belakang, kalau-kalau mereka melihatku dan akan menembakku.

“Saudara Nur Ichwan, keluarlah. Ikutlah dengan kami untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Segera, sebelum kami melakukan tindakan yang lebih tegas!” seru seorang polisi yang membawa pistol.
Nur Ichwan? Siapa dia? Namaku Gilang, bukan Nur Ichwan. Ergi!! Mungkin dia yang dimaksud. Namanya kan Nur Ichwan Ergin Ramadhani. Ya, aku semakin yakin kalau Ergi-lah yang dimaksud. Tapi apa masalahnya sampai dia dikejar-kejar polisi begini? Kupegangi kakiku yang nyeri, kurasakan disana basah. Ternyata kakiku telah bersimbah darah.

“Ya Allah..!!” gumamku. Aku ingin menjelaskan kepada mereka kalau aku ini bukanlah Ergi yang mereka cari. Tapi bagaimana mungkin dalam keadaan polisi sering melepaskan tembakan begini. Salah-salah nanti di kepalaku benar-benar bersarang peluru. Mau teriak, juga nggak mungkin. Jarak yang tidak dekat ditambah suara-suara pistol, teriakan, dan sirine membuat suaraku mustahil didengar. Ergi!! Dialah sumber dari semua masalah ini. Sampai aku hampir mempertaruhkan nyawaku hanya karena dikira dia. Apa yang sebenarnya terjadi? Begitu banyak rahasia yang kau simpan dariku, apa kau tidak menganggapku sebagai seorang sahabat? Meninggalkan kos serta meninggalkan masalah besar. Larikah kau Ergi?! Ingin sekali aku memukulmu saat ini. Sumpah serapah keluar dari mulutku. Masih dalam keadaan panik dan bingung, tiba-tiba pundakku ada yang menyentuh. Kontan saja aku kaget dan segera berbalik.
Ergi!! Kulihat dia sudah dibelakangku. Segera saja kutarik kerah bajunya dan kudorong tubuhnya hingga ia tersungkur ke tanah. Namun seseorang melerai kami. Ternyata dia Fauzan, teman Ergi yang aku pernah datang kerumahnya beberapa waktu yang lalu.

“Sudah, sudah!! Jangan ribut disini. Ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk berkelahi!!” serunya. Kupandang Ergi dengan mata nanar. Aku sungguh sangat ingin memukulnya dan meminta penjelasan darinya mengenai masalah ini. Dia hanya menatapku dengan sayu. Nafasnya memburu, sepertinya dia juga habis berlari.
“Ayo kita pergi dari sini. Cepat, sebelum mereka menemukan kita!” katanya kemudian.Aku hanya terdiam, tapi Ergi menarik lenganku untuk ikut dengan mereka. Aku berada paling belakang. Namun ketika Ergi melihatku berlari tertatih, dia menghentikan langkah dan kemudian berada dibelakangku. Dalam perjalanan, kami hanya terdiam. Tidak jarang diantara kami terjatuh. Dan pada saat itu rasa persaudaraan kami tetap kental. Meski dalam hati dongkol dan kesal, kami tetap saling menolong. Aku tidak tahu kemana langkah-langkah ini menuju. Didepan aku melihat ada sebuah rumah, ah..tidak pantas disebut rumah. Gubuk lebih tepatnya. Lalu Fauzan mengetuk pintu dan mengucap salam. Pintu terbuka. Lalu kami masuk satu persatu. Aku hanya berdiri terpaku. Gelap. Tiba-tiba ada sebuah nyala lilin. Kuamati sekitar tempatku berdiri. Ada dua buah kursi rotan yang sudah usang, dan sebuah bangku. Yang diatasnya ada tiga buah ransel besar. Kulihat disana sudah ada Jhon yang tengah sibuk mempersiapkan ranselnya.

“Duduklah, “ kata Fauzan kepadaku. Tidak lama kemudian aku sudah berada diatas kursi rotan usang di sudut ruangan. Ergi berdiri dihadapanku.
“Bukankah tadi kau ingin memukulku?” tanyanya kemudian.
“Tenagaku sudah habis untuk berlari kejar-kejaran dengan polisi dari kosan sampai sini. Tanpa aku tahu apa salahku sampai mereka berusaha menembak dan menangkapku. Aku ingin menghemat tenagaku untuk bisa pulang.!” Hatiku bergejolak. Kulihat mereka hanya tertunduk. Sebelum kemudian Ergi menjawab,
“Lang, maafkan aku. Maafkan kami yang secara tidak langsung telah melibatkanmu dalam masalah ini. Aku harap kamu mengerti.”
“Aku tidak mengerti ya akhi…” jawabku agak ketus.
“Ya, kau memang tidak mengerti. Tapi kau akan mengerti saat waktunya tiba!”
“Apalagi?! Apalagi yang kalian rahasiakan padaku?! Kalian hampir membunuhku! Tanpa aku tahu penyebabnya. Kau! Kau sudah lama bersahabat denganku. Satu kampus, satu kos. Satu misi. Kau sudah kuanggap lebih dari sekedar sahabat Er. Tidakkah kau anggap aku? Ha??!” aku kalap. Kudorong Ergi hingga ia terduduk di kursi depanku. Kembali kuhempaskan tubuhku ke kursi.
“Sahabat? Akupun juga menganggapmu lebih dari itu…” perkataannya terputus. Kulihat matanya meneteskan sesuatu. Air matakah itu? Selama aku mengenalnya, tak pernah ku melihat dia menangis. Dia selalu tegar, dan sabar. Tapi sekarang? Sepertinya dia sedikit rapuh.
“Tapi sekali lagi maafkan aku, atas semua ini. Atas sikap-sikapku yang sering membuatmu jengkel, marah. Aku minta maaf.” Sejenak kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Sekarang pulanglah!!” Apa? Pulang? Aku kira kau akan menjelaskan sesuatu kepadaku Er…
“Kita berpisah disini. Pulanglah sebelum fajar semakin tinggi. Lewati jalan yang tadi kita lalui untuk menuju kemari. Insya Allah kau akan selamat. Pulanglah ke kosan, dan anggap tidak terjadi apa-apa.” Aku hanya menatap mereka bertiga dengan wajah bingung dan tidak percaya. Apa yang kalian lakukan? Tidak ada penjelasan sedikitpun yang aku terima. Sekarang mereka malah akan pergi.
“Hati-hati ya Sobat!! Insya Allah kita akan bertemu lagi kelak, meski di ruang dan waktu yang berbeda.” tambahnya sambil menepuk pundakku.
“Kalian mau pergi kemana?” tanyaku akhirnya.
“Kami akan pergi jauh. Do’akan kami selalu dalam jalan-Nya. Senang berkenalan denganmu Akh..!” kata Fauzan. Mereka sibuk berkemas-kemas dan segera meninggalkan gubuk itu. Kulihat mereka mantap dengan langkah yang diambilnya. Walau ada guratan-guratan kepanikan yang terlukis diwajahnya. Terucap salam yang lembut dari mereka sebelum akhirnya kami benar-benar berpisah. Dalam kegelapan, dalam kepanikan, dan dalam seribu tanya serta harapan. Aku kembali menyusuri jalan yang tadi kami tempuh. Fajar di timur semakin menyingsing. Kurasakan kakiku semakin nyeri….
~~**~~

Semua baik-baik saja. Setelah kejadian malam itu, setelah kuobati kakiku, setelah kujelaskan semuanya kepada ibu kost, orang-orang, walaupun dengan penjelasan yang aku sendiri tidak tahu pasti kebenarannya. Karena memang aku tidak punya penjelasan yang sebenarnya. Tentang mengapa sampai aku dikejar polisi karena dikira Ergi, tentang apa yang diperbuat Ergi sampai menyulut kemarahan polisi, tentang kemana Ergi pergi sekarang, dan tentang yang lain yang aku masih belum mengerti. Ya, kuanggap semuanya baik-baik saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti yang telah dikatakan Ergi malam itu. Di gubuk tua, dan disitulah aku terakhir bertemu dengan mereka. Para sahabatku.

Seperti janjiku, sebelum Ramadhan aku akan pulang. Namun lagi-lagi karena kesibukan, aku baru bisa pulang di hari ke tiga bulan puasa. Di rumah kulihat orang tuaku sudah didepan pintu menyambutku. Kuucap salam dan segera kucium tangan keduanya. Ibuku memelukku erat. Kangeenn…
“Ayo, masuk. Lepas sepatumu. Kalau mau mandi, baknya sudah ibu isi tadi.” Panas terik begini, badan lengket, bau solar, bensin, penuh debu…Huh..segera aku mengambil handuk dan mandi.
“Bagaimana kuliahmu?” Tanya bapak.
“Alhamdulillah lancar Pak. Do’akan saja supaya cepat selesai.” Jawabku.
“Kalau soal doa sih, nggak usah disuruh kami selalu mendo’akanmu Gilang..” tukas ibuku. Ahh, benar juga. Do’a dan kasih sayang orang tua selalu mengalir dengan sendirinya tanpa kita minta. Terus-menerus, bagai mata air yang mengalir dan tidak mengharap air yang telah dialirkannya kembali. Nikmat sekali buka puasa malam itu. Bersama bapak ibuku tercinta. Setelah berbuka, kami bergegas ke masjid untuk sholat tarawih.
~~**~~

Sore ini aku hanya di kamar. Di luar hawa agak panas. Aku asyik mendengarkan lagu-lagu nasyid. Kaset itu dulu aku beli bersama Ergi. Ah, dimanakah kau sekarang Er? Kenapa tak kasih kabar? Rasa rindu menyelinap di hatiku.
“Lang, nih. Tadi ibu ambil pulpen di tasmu. Ternyata malah nggak mempan. Ada pulpen lain nggak? Buat nyatet pesanan kue besok.” Kata ibu sambil menyerahkan pulpen padaku. Itu kan pulpen pemberian Ergi.

“Aduh, Bu. Nggak ada lagi. Ini pulpen satu-satunya pemberian temen Gilang.”
“Ya udah, ibu beli sendiri aja di warung. Anak kuliahan kok nggak punya pulpen…” sambung ibu sambil ngeloyor pergi. Kupandangi lagi pena itu. Aku putar, ingin tahu apakah benar tintanya habis. Apa ini? Ada selembar kertas yang terbalut di tinta pena. Langsung saja ku ambil dan kuamati dengan seksama. Ternyata sebuah surat…dari Ergi...

‘Assalamu’alaikum...
Apa kabarmu sahabatku? Tapi jangan kau coba menanyakan bagaimana kabarku. Karena mungkin saat kau membaca tulisan ini, aku sudah tidak ada denganmu lagi. Dan akupun tidak tahu pasti, apakah aku masih berada dalam permainan dunia ini. Lang, maafkan aku jika selama ini aku banyak rahasia padamu. Karna aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalahku. Tapi sebenarnya ini bukanlah masalah. Ini adalah jalan yang aku dan teman-temanku tempuh untuk menggapai syahid. Aku masih serius membaca kata demi kata yang ditulis Ergi. Kubenahi posisi dudukku, dan mulai kubaca lagi, kata...demi kata...Masih ingatkah kau tentang diskusi kecil kita petang itu, sahabatku? Tentang penghargaan dunia akhirat, dengan amar ma’ruf nahi munkar. Dari dulu, aku sangat membenci kemaksiatan.

Orangtuaku meninggal bukan karena kecelakaan. Tapi dibunuh dengan sadis oleh sekelompok orang yang menginginkan tanah dan rumahku. Memang, itu belum sepenuhnya menjadi hak kami. Karena memang kami belum bisa melunasinya. Sejak saat itu, aku hanyalah seorang yang bermimpi dan beranganpun tidak pantas. Hingga akhirnya aku dikirim kakek ke sebuah pesantren. Yang disana pun menurutku tidak lebih baik. Tapi aku bersyukur, berawal dari kegigihanku menggapai angan, akhirnya aku bisa melanjutkan studi berbekal beasiswa. Sampai suatu ketika aku menemukan komunitasku. Satu misi dan satu visi. Gilang, masih ingatkah tentang tragedi pengeboman sebuah penginapan mewah di Bandung setahun lalu? Pernahkah terfikir olehmu siapa yang melakukannya? Mereka dicap teroris oleh sebagian orang, kebanyakan orang, bahkan semua orang. Mereka dikecam dan diburu bagai binatang. Memang, mungkin mereka binatang. Tapi orang-orang itulah yang menjadikan kami sebagai binatang, yang haus darah. Darah para pelaku kemaksiatan, kejahatan, yang selalu memprioritaskan kenikmatan dunia, tanpa mempedulikan orang kecil dan lemah. Itulah yang menurunkan murka Allah. Dunia ini menjadi hitam, penuh hawa panas kemaksiatan, agama Allah diporakporandakan.

Satu catatan sahabatku, kami adalah mujahid pendamba syahid. Gilang, kuserahkan kepadamu sepenuhnya. Apakah setelah kau membaca surat ini, kau masih menganggapku sebagai sahabat...atau mungkin musuh. Mungkin juga kau mengharapkan kami tertangkap polisi dan dihukum mati. Dipenggal, dan kepala kami dijadikan santapan anjing sekalipun, itu terserah padamu. Tapi yang perlu kau ingat, aku tetap menganggapmu sebagai sahabat yang selalu ada dikala aku butuh.Gilang, jangan pernah takut pada apapun selama masih dalam jalan kebenaran. Teruslah berjuang di jalan Allah untuk menggapai kenikmatan. Jangan lupa menjalankan amalan-amalan yang haq. Karena itulah yang akan membantumu kelak disana, menemanimu disana...
Cukup sekian sahabatku, selamat tinggal. Do’akan aku semoga aku mendapat yang aku inginkan.
Wassalamu’alaikum...
Gubuk tua, 12 Desember 1998.’

Bagai tersambar petir tepat di kepalaku. Kepalaku pening, tubuhku lemas seketika. Tanpa sadar, kertas itu basah oleh air mata. Terdengar lagu Far East ‘Menanti di Barzakh’ mengalun lembut... Ya Allah, apa yang terjadi padamu Er? Aku segera mengambil ranselku. Kuisi dengan beberapa buku dan kaos. Kupakai sepatu, lalu aku bergegas keluar. Dirumah sepi, aku hanya meninggalkan sepucuk surat diatas meja makan. Kulihat senja di ufuk barat, merah saga. Perjalanan inipun kurasa sangat lama. Setelah sampai, aku langsung menghambur menuju kamar kost. Kubuka pintu itu... Kosong. Tidak ada siapa-siapa disitu. Tidak seperti beberapa waktu yang lalu, yang kulihat Ergi sedang mengerjakan tugas atau hanya sekedar membaca buku. Ku layangkan pandanganku keseluruh sudut kamar. Tidak ada yang berubah. Ah, kupikir Ergi akan pulang dan melipat sajadah itu. Sajadah dipojok kamar yang Ergi selalu duduk diatasnya setiap malam untuk berdzikir. Tapi ternyata sajadah itu masih rapi menghadap kiblat.

Kuhampiri, lalu kulipat rapi. Seketika tercium bau parfum yang sudah tidak asing lagi. ‘Ergi!’ batinku. Namun secercah harapan itu hilang setelah kulihat cairan yang tercecer didekat meja kecil kami. Tergeletak sebuah buku disamping jam beker. Kuambil, kuamati.... ‘Be Mujahid, It’s Me!’ Aku benar-benar merasa kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupku. Dia lebih dari sekedar sahabat, dia selalu menjadi teladan bagiku. Rasa kehilangan semakin besar ketika keesokan harinya aku membaca sebuah surat kabar lokal. Terpampang jelas dihalaman depan “Teroris Pengeboman Penginapan Mewah, Menunggu Eksekusi Mati!” Aku hanya bisa menatapnya nanar, menerawang jauh entah kemana.

‘Tapi kan mendingan di kost-an. Kalo di pesantren, dari mata melek sampai melek lagi kita sudah ada schedule yang wajib diikuti dan ditaati…’
‘Kita semua sebagai umat manusia bisa mendapatkannya. Asal kita selalu beriman dan bertaqwa kepada Dzat yang telah menciptakan kehidupan di dunia ini....’
‘Hati-hati yang Sobat!! Insya Allah kita akan bertemu lagi kelak, meski di ruang dan waktu yang berbeda.....’

Tiba-tiba kata-kata Ergi kembali terngiang di telingaku. Aku masih sahabatmu Er. Selamanya. Aku tidak akan pernah lupa mendo’akanmu. Karna hanya itu yang bisa kuberikan padamu. Selamat jalan Sobat...
~~**~~

Hari ini aku sibuk sekali. Sibuk menyelesaikan skripsi. Ya, sebentar lagi aku akan menamatkan S1 ku di fakultas ini. Alhamdulillah, syukur kupanjatkan pada-Mu ya Rabb. Engkau telah memberikan kenikmatan dalam hidupku. Engkau telah berikan padaku seorang bidadari surga. Yang setia menemaniku dikala suka dan duka. Tugas skripsi yang melelahkan pun tidak begitu terasa. Kulihat dia menghampiriku, dan dengan lembut menutup laptop yang sedari tadi berada dihadapanku, menghentikan kegiatanku.
“Makan dulu yuk, Mas. Sudah malam, besok lagi ngerjain tulisannya...” katanya padaku tidak lupa sebuah senyuman manis menghiasi bibirnya. Lalu, kami berdua makan malam. Bertiga, dengan calon mujahid mujahidah yang sebentar lagi akan menatap dunia...
Er, aku akan selalu menjaga Salma dengan sebaik-baiknya. Aku juga akan berusaha menjadi imam bagi mereka...

Renungan: Bagi Istri & Calon Istri. Bagi Suami & Calon Suami




Buat para Suami & calon Suami..

Renungkanlah...
Pernikahan atau perkawinan membuka tabir rahasia...
Isteri yang kamu nikahi tidaklah semulia Khadijah,
tidaklah setaqwa Aisyah..
pun tidak setabah Fatimah..

Justru..
isterimu hanyalah wanita akhir zaman
yang punya cita-cita menjadi shalihah
Pernikahan atau perkawinan mengajari kita kewajiban bersama....
Isteri menjadi tanah kamu langit penaungnya,
Isteri ladang tanaman kamu pemagarnya,


Isteri kiasan ternakan kamu gembalanya,
Isteri adalah murid kamu mursyidnya,
Isteri bagaikan anak kecil kamu tempat bermanjanya,
Saat isteri menjadi madu kamu teguklah sepuasnya,
seketika isteri menjadi racun kamulah penawar bisanya,
seandainya isteri tulang yang bengkok berhati-hatilah
meluruskannya.
Pernikahan atau perkawinan menginsafkan kita perlunya iman dan taqwa
Untuk belajar meniti sabar dan ridha kepada Allah swt.

Kamu bukanlah Rasulullah saw?
Pun bukanlah Sayyidina Ali Karamallahhuwajhah
Hanya suami akhir zaman yang berusaha menjadi shalih...

AMIN.

Buat para Istri & calon Istri..

Renungkanlah...
Pernikahan atau perkawinan membuka tabir rahasia…
Suami yang menikahi kamu tidaklah semulia Muhammad saw
Tidaklah setaqwa Ibrahim
Pun tidak setabah Ayyub atau pun segagah Musa..
apalagi setampan Yusuf
Justru suamimu hanyalah lelaki akhir zaman yang punya cita-cita
membangun keturunan yang shalih...

Pernikahan atau perkawinan mengajari kita kewajiban
bersama…
Suami menjadi pelindung kamu penghuninya,
Suami adalah nahkoda kapal kamu pengemudinya,
Suami bagaikan pelakon yang nakal kamu adalah penonton kenakalannya,
Saat suami menjadi raja kamu nikmati anggur singgasananya,
Seketika suami menjadi bisa kamulah penawar obatnya,
Seandainya suami bengis lagi lancang sabarlah
memperingatkannya,

Pernikahan ataupun perkawinan mengajarkan kita perlunya
iman dan taqwa,
untuk belajar meniti sabar dan ridha Allah swt.

Kamu bukanlah Khadijah yang begitu sempurna di dalam menjaga,
pun bukanlah Hajar yang begitu setia dalam sengsara....
Hanya wanita akhir zaman yang berusaha menjadi shalihah,

AMIN.

alimmahdi.com/renungan-bagi-istri-calon-istri-bagi.html

Kehidupan ini...



Kehidupan, sebuah kata sejuta makna. Mengarungi kehidupan laksana menempuh sebuah perjalanan yang melelahkan…
Amatlah jauh dan berat bila kita arungi seorang diri. Tanpa bekal, tanpa kawan…dan tanpa angan-angan.
Kehidupan ibarat bejana besar yang telah siap untuk kita masuki sesaat setelah menatap dunia untuk pertama kalinya. Sendiri, lemah, kosong…tak berdaya. Tapi di pundak mungil itulah kelak kerasnya kehidupan akan bergelayut hingga akan membawanya ke atas bukit-bukit kebahagiaan atau sebaliknya, ke dalam lembah curam kenistaan dan kesengsaraan…
Setiap insan berkehendak meniti kehidupan setapak demi setapak, hingga ke puncak dan teraihlah segala cita dan asa yang tergambar jelas dalam benak. Dan terus ingin berada di puncak, tanpa akan kembali darimana ia memulai…
Namun sayang, kehidupan tidak begitu saja diibaratkan tangga titian yang mulus, atau perjalanan yang pendek dan tanpa aral.
Sayang seribu sayang, kita tidak dapat serta merta memilih kehidupan yang akan kita jalani. Kita tidak dapat memilih kendaraan yang akan kita naiki, tuk sampai tujuan yang dikehendaki.


Tak perlu Mercy, atau APV… untuk menerjang kerasnya bebatuan yang terserak di jalan, atau hanya sekedar untuk berlindung dari teriknya panas dan guyuran hujan.
Hanya nikmat, berkah dan rahmat Allah lah yang dapat membawa kita sampai tujuan…meski lamban, penuh cobaan, tapi Insya Allah akan mencambuk kita dan memperjernih pikiran untuk mengerti makna sebuah perjalanan dalam mengarungi kehidupan.
Sekali lagi, kita tidak dapat memilih kehidupan yang akan kita jalani sesaat setelah menatap dunia. Akan tetapi, perjuangan dan perjalanan jauhlah yang akan membawa kita pada pilihan hidup yang didamba…
Maka, jalanilah kehidupan ini dengan penuh syukur saudaraku. Jangan menghujat siapa-siapa tentang keadaan kita sekarang ini, rubahlah hidupmu apabila memang kau inginkan perubahan. Marilah kita bermohon kepada Tuhan Semesta Alam agar diberikan kemudahan dalam menjalani perjalanan jauh nan melelahkan. Dan semoga dapat membawa kita kedalam kebahagiaan yang sebenarnya. Kehidupan ini memang hanya sementara, namun yang sementara amat sangat menentukan untuk kehidupan selanjutnya.
Ya Rabb, berkahilah dan ridhailah kehidupan yang telah, saat, dan akan hamba tapaki. Dan jika memang kehidupan ini tidak layak untuk hamba-Mu, rubahlah… Rubahlah menjadi kehidupan yang seharusnya hamba memang berada di dalamnya…
Namun hanyalah tubuh dan jiwa ini yang kubawa untuk sekedar menjalani kehidupan ini... penuh rasa syukur, mencoba ikhlas, sarat dengan angan untuk dapat merasakan kedamaian dalam jalur kehidupan yang Engkau ridhai…

Haruskah Kita Merayakan 'Valentine'??


Kemarin, tepatnya tanggal 12 February 2009 saya ditanya oleh salah satu teman. “Eh, besok kan hari valentine.. mau ngasih cokelat nggak?” atau “Met valentine ya… mana nih cokelatnya?” kalau saya jawab “Nggak ada cokelat,” pasti dibilang “Ih, pelit amat sih. Setahun sekali ini…!!!”
Dalam hati, saya bertanya ; Apa sih makna hari Valentine?? Atau lebih tepatnya, apa sih hari Valentine itu sendiri? Banyak orang yang saya tanya mengenai hari valentine. Saya bertanya pada mereka bukan tanpa alasan. Secara mereka semua gembar-gembor merayakan itu. Saya pikir mereka ya faham betul. Tapi setelah ditanya, jawaban mereka semua klasik. “Kuno banget sih. Masa hari Valentine aja nggak tahu. Hari Valentine itu hari kasih sayang…bla..bla..bla..”
Siapa yang kuno??
Kalau menurut saya, valentine itu adalah hari yang konyol. Udah konyol, diikuti pula. Dan yang lebih miris lagi, yang mengikuti tradisi ‘valentinan’ itu kebanyakan ya umat muslim seperti kita. Seperti yang saya bilang tadi, kebanyakan juga mereka tidak tahu apa itu hari valentine yang jatuh pada setiap tanggal 14 Februari. Bukankah Allah sudah berfirman dalam QS. Al-Israa ayat 36 yang artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Nah lo, kena ayat nih. Dan saya juga yakin, kalaupun mereka ditanya soal sejarah kenapa bisa dijadikan hari valentine atau yang sering mereka sebut hari kasih sayang, 90% mereka pasti tidak faham.
Sedikit saya kutip sejarah ‘berdirinya’ Valentine’s Day atau hari valentine.


Asal mula hari Valentine tercipta pada jaman kerajaan Romawi. Menurut adat Romawi, 14 Februari adalah hari untuk menghormati Juno. Ia adalah ratu para dewa dewi Romawi. Rakyat Romawi juga menyebutnya sebagai dewi pernikahan. Di hari berikutnya, 15 Februari dimulailah perayaan ‘Feast of Lupercalia.’
Pada masa itu, kehidupan belum seperti sekarang ini, para gadis dilarang berhubungan dengan para pria. Pada malam menjelang festival Lupercalia berlangsung, nama-nama para gadis ditulis di selembar kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam gelas kaca. Nantinya para pria harus mengambil satu kertas yang berisikan nama seorang gadis yang akan menjadi teman kencannya di festival itu.
Tak jarang pasangan ini akhirnya saling jatuh cinta satu sama lain, berpacaran selama beberapa tahun sebelum akhirnya menikah. Dibawah pemerintahan Kaisar Claudius II, Romawi terlibat dalam peperangan. Claudius yang dijuluki si kaisar kejam kesulitan merekrut pemuda untuk memperkuat armada perangnya.
Ia yakin bahwa para pria Romawi enggan masuk tentara karena berat meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Akhirnya ia memerintahkan untuk membatalkan semua pernikahan dan pertunangan di Romawi. Saint Valentine yang saat itu menjadi pendeta terkenal di Romawi menolak perintah ini.
Ia bersama Saint Marius secara sembunyi-sembunyi menikahkan para pasangan yang sedang jatuh cinta. Namun aksi mereka diketahui sang kaisar yang segera memerintahkan pengawalnya untuk menyeret dan memenggal pendeta baik hati tersebut.
Ia meninggal tepat pada hari keempat belas di bulan Februari pada tahun 270 Masehi. Saat itu rakyat Romawi telah mengenal Februari sebagai festival Lupercalia, tradisi untuk memuja para dewa. Dalam tradisi ini para pria diperbolehkan memilih gadis untuk pasangan sehari.
Dan karena Lupercalia mulai pada pertengahan bulan Februari, para pastor memilih nama Hari Santo Valentinus untuk menggantikan nama perayaan itu. Sejak itu mulailah para pria memilih gadis yang diinginkannya bertepatan pada hari Valentine.

Kisah St. Valentine
Valentine adalah seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ketiga. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut, dan ia bukan satu-satunya. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.
Namun sayangnya keinginan ini bertepuk sebelah tangan. Para pria enggan terlibat dalam perang. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Hal ini membuat Claudius sangat marah, ia pun segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.
Ia berfikir bahwa jika pria tak menikah, mereka akan dengan sennag hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Para pasangan muda menganggap keputusan ini sangat tidak manusiawi. Karena menganggap ini adalah ide aneh, St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.
Ia tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini diketahui kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tak bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin, tanpa bunga, tanpa kidung pernikahan.
Hingga suatu malam, ia tertangkap basah memberkati sebuah pasangan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis mati. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara.
Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta itu adalah putri penjaga penjara. Sang ayah mengijinkannya untuk mengunjungi St. Valentine di penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta itu. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar.
Di hari saat ia dipenggal,14 Februari, ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis itu atas semua perhatian, dukungan dan bantuannya selama ia dipenjara. Diakhir pesan itu, ia menuliskan : “Dengan Cinta dari Valentinemu.”
Pesan itulah yang kemudian merubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.

Itulah sepenggal kisah asal mula hari Valentine. Dimana ‘valentine’ itu sendiri diambil dari nama seorang pendeta. Sebagai umat muslim, kita tidak selayaknya ikut-ikutan merayakannya. Apalagi kalau sudah hampir dianggap layaknya hari raya yang harus dipersiapkan setahun sebelum hari itu tiba.
Kekonyolan yang lain, (selain merasa harus merayakan meskipun kalau ditanya apa maknanya tidak tahu menahu…) adalah apa iya kalau hari kasih sayang itu harus identik dengan cokelat dan bunga rose? Kalau ditanya hubungannya, pasti juga nggak tahu. “Udah dari sononya…” Saya jadi sedikit menyimpulkan, hari valentine bukan hanya hari kasih sayang antara sepasang kekasih atau keluarga dan teman. Tapi juga kasih sayang kepada para penjual bunga dadakan di jalan-jalan. Dalam sehari atau tepatnya sebelum dan saat valentine mereka meraup keuntungan yang sangat luar biasa. Sangat berbeda dengan penghasilan mereka kala hari-hari biasa. Tapi kan, memang mereka penjual bunga dadakan…
Kalau memang mengasihi dan menyayangi teman atau keluarga pun tidak hanya pas tanggal 14 Februari saja. Setiap hari, setiap saat kita dianjurkan untuk saling sayang dan mengasihi sesama. Iya kan?? Dan bukan hanya dengan memberi sekotak cokelat mahal dan satu bucket bunga rose plus semprotan wewangian yang menusuk hidung… lantas setelah sehari atau dua hari berlalu kembali seperti biasa. Mulai dari bercanda kelewatan, masih suka marah-marah, saling dengki, saling tonjok (haa?!?)… memang sayangnya cuma untuk sehari saja ya? Seharusnya kita senantiasa mendo’akan, memberi nasihat dan saran yang baik, dan selalu menunjukkan sikap penuh kasih dan tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan amarah dan perpecahan.

Ikut merayakan hari Valentine berarti ikut merayakan hari raya orang kafir. Ancaman Rasulullah SAW terhadap praktek meniru tata cara agama orang kafir sangat berat. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya,
“Barang Siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.”(HR At-Tirmidzi)
Bila dalam merayakan hari raya Valentine ada maksud untuk mengenang pendeta Valentine, maka ini termasuk dalam perbuatan kufur. Adapun jika perayaan tidak dimaksudkan untuk demikian, maka perayaan tersebut tetap merupakan kemungkaran yang besar. Termasuk perbuatan mengkar disini adalah mengucapkan selamat hari raya Valentine.
Ibnul Qayyim berkata,”Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan,” Selamat hari raya!” dan yang semisalnya. Yang mengucapkan, kalau pun tidak sampai ke kekafiran, paling tidak itu perbuatan haram. Berarti, ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada memberi selamat atas perbuatan minum khamr atau membunuh….”

Yang lebih konyol lagi, di bulan Februari tanggal 14 mereka berbondong-bondong merayakan hari valentine, hari penuh kasih sayang. Oke, mungkin itu maksudnya baik ya… tapi semua itu mereka rusak lagi di bulan berikutnya tepatnya tanggal 1 April dengan perayaan Aprilmop yang seolah-olah di tanggal itu semua dihalalkan untuk berbohong atau membohongi orang lain sebagai sasaran. Sebelum 1 April, mereka menyiapkan ide-ide jail apa yang dapat membuat sasarannya mati kutu, merah padam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah semua ‘aksi’ dijalankan dan berhasil, mereka yang mempunyai rencana bersorak ‘APRILMOOOP…!!!’ kepada sang korban. Si korban yang saat itu sadar bahwa dirinya telah menjadi sasaran perayaan di awal bulan April itu hanya bisa pasrah sambil menahan gemeletuk giginya karena marah bercampur malu. Penganiayaankah ini?
Sepertinya aneh kan? Dan mungkin memang aneh, setelah berkasih sayang lalu dirusak dengan pembohongan besar-besaran. Kepada orang yang dulu diberi ucapan kasih sayang pula.
Setelah kita tahu dan sedikit faham tentang asal mula dan makna dari hari valentine, masihkah kita merasa harus merayakannya? Dan jangan setelah mengetahui semuanya bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari ayat diatas (QS. Al-Israa ayat 36) karena ini semua memang bukan berasal dari agama dan budaya Islam. Biarlah mereka saja yang merayakan dan merusaknya kemudian. Kita sudah punya tuntunan, pedoman hidup. Marilah kita ikuti supaya tidak sesat. Dan selalulah kita bermohon kepada Allah agar senantiasa diberi petunjuk agar selalu melangkah pasti dalam jalan-Nya…Amin.
Semoga fenomena ini dapat menyadarkan kita akan pentingnya saling mengasihi sesama umat manusia terutama sesama umat muslim, tidak hanya pada hari tertentu saja. Wallahua’lam.

Pesankan Saya Tempat di Neraka!!



Orang Mesir sangat gandrung dengan Al-Quran. Kemanapun mereka pergi, mereka tidak lupa untuk membawa mushaf. Tidak heran bila hampir semua orang (apapun tugas, karir dan jabatannya) terlihat membaca Quran di sela-sela waktu senggang atau ba'da shalat. Begitu juga pemilik toko, penjaganya, para karyawan, satpam, sopir taksi, bos-bos kantoran, selalu terlihat membaca al-Quran. Kalau tidak dibaca, Al-Quran mereka letakkan dengan rapih di atas mejanya, atau ditenteng dan disimpan dalam tas jika bepergian.

Ayat Al-Quran juga sering diperdengarkan dari rumah-rumah sederhana hingga hotel berbintang lima, dari warung-warung kecil hingga shopping center mewah, dari sarana transportasi butut hingga pesawat terbang.

Nyaris di semua tempat selalu ada yang membaca al-Quran. Begitupun di dalam taksi, mikrolet, bus kota, kereta api, trem kota, para pemuda, bapak-bapk dan kaum hawa senantiasa khusyu membaca Quran sambil mengusir suara bising obrolan dan deru knalpot.

Secara umum, ayat-ayat al-Quran yang "distel" di dalam kendaraan sangat bempengaruhi "karakteristik" pendengarnya. Normalnya, para penumpang malu untuk berbuat hal-hal yang tidak senonoh.


Kendati begitu, tetap saja ada saja pemandangan yang di luar dugaan. Misalnya, gara-gara ada copet akhirnya copot seluruh isi dompet. Atau ada saja yang berbuat ricuh di dalam bus lantaran rebutan tempat duduk, tak setuju tarif, perempuan disenggol laki-laki nakal, dsb. Sementara pembaca al-Quran tetap anteng dan adem ayem.

Pemandangan lain (yang di luar dugaan) juga terjadi di musim panas tahun 2002, dalam perjalanan menuju Alexandria, kota pantai yang bersejarah itu. Ada seorang gadis yang berpakaian sangat minim, bahkan tipis dan tembus pandang. Semula dia tidak kebagian tempat duduk, akhirnya berdiri, dan "terlihat" oleh semua penumpang (jangan lupa lho, gadis-gadis Mesir kebanyakan montok-montok atawa 'berisi'). Kebetulan Seorang syekh mencoba mengingatkan, tapi tidak digubris. Selengkapnya ditulis oleh kolumnis majalah Almannar (bukan Almannar yang dulu dikelola syekh Muhammad Rasyid Ridho yang kemudian menulis tafsir Almannar itu, melainkan Almannar Aljadid/neo-Almannar) berikut ini:

***

Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi Muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan etika. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa terjaga. Jilbab memang memiliki multifungsi.

Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, dari Kairo ke Alexandria; di sebuah mikrobus, ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat, karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang 'perhatian' kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.

Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan bahwa pakaian yang dikenakannya bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya sendiri. Disamping itu, pakaian tersebut juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Orang tua itu bicara agak hati-hati, pelan-pelan, sebagaimana seorang bapak terhadap anaknya.

Apa respon perempuan muda tersebut? Rupanya dia tersinggung, lalu ia ekspresikan kemarahannya karena merasa hak privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang!

"Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!"

Sebuah respon yang sangat frontal. Orang tua berjanggut itu hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Penumpang lain yang mendengar kemarahan si wanita ikut kaget, lalu terdiam.

Detik-detik berikutnya, suasana begitu senyap. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpi, tak terkecuali perempuan muda itu.

Lalu sampailah perjalanan di penghujung tujuan, di terminal terakhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun, tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tidur, karena posisi tidurnya berada dekat pintu keluar.

"Bangunkan saja!" kata seorang penumpang.
"Iya, bangunkan saja!" teriak yang lainnya.

Gadis itu tetap bungkam, tiada bergeming.

Salah seorang mencoba penumpang lain yang tadi duduk di dekatnya mendekati si wanita, dan menggerak-gerakkan tubuh si gadis agar posisinya berpindah. Namun, astaghfirullah! Apakah yang terjadi? Perempuan muda tersebut benar-benar tidak bangun lagi. Ia menemui ajalnya dalam keadaan memesan neraka!
Kontan seisi mikrobus berucap istighfar, kalimat tauhid serta menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk di sampingnya. Ada pula yang histeris meneriakkan Allahu Akbar dengan linangan air mata.

Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya....
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat...
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk...
Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah...
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat dengan-NYA semakin dekat.

Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar...
mumpung kesempatan itu masih ada!

Apakah booking tempatnya terpenuhi di alam sana? Wallahu a'lam.

seperti dikutip dalam http://religiusta.multiply.com/journal/item/233

Mengapa Do'a tidak di Ijabah?



''Jangan salahkan Allah bila doa tak dikabulkan dan jangan pula menggerutu atau jemu,'' kata Abdul Qadir-Jailani dalam Mafatih al-Ghaib. Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa doa kita tak terkabul? Ada dua sebab mengapa doa tertolak. Yaitu, pertama, tidak memperhatikan adab berdoa, baik adab lahir maupun adab batin.

Rasulullah SAW bersabda, ''Doa seorang hamba Allah tetap dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau memutuskan silaturahim atau tak terburu-buru segera dikabulkan.'' Seorang sahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apakah maksud terburu-buru?'' Rasulullah menjawab, ''Ia mengatakan, 'aku telah berdoa tapi aku tidak melihat doaku dikabulkan', sehingga ia mengabaikan dan meninggalkan doanya itu.'' (HR Muslim).

Ketika suatu doa tak segera menampakkan tanda-tanda terijabah, maka seharusnya seseorang tetap berbaik sangka kepada Allah SWT. Sebab, Allah SWT akan mengganti bentuk pengkabulan doa dengan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi si pemohon atau ditunda pengabulannya hingga hari akhirat dalam bentuk deposito pahala.

Kedua, perilaku buruk. Syaqiq al-Balkhi bercerita: ketika Ibrahim bin Adham berjalan di pasar-pasar Bashrah, orang-orang mengerumuni beliau. Mereka bertanya, mengapa Allah belum juga mengabulkan doa mereka padahal telah bertahun-tahun berdoa, serta bukankah Allah berfirman, ''Berdoalah kalian, maka Aku mengabulkan doa kalian.'' Ibrahim bin Adham menjawab, ''Hatimu telah mati dari sepuluh perkara.

'' Yakni, pertama, engkau mengenali Allah, tetapi tidak menunaikan hak-Nya. Kedua, engkau membaca kitab Allah, tetapi tidak mau mempraktikkan isinya. Ketiga, engkau mengaku bermusuhan dengan iblis, tetapi mengikuti tuntunannya. Keempat, engkau mengaku cinta Rasul, tetapi meninggalkan tingkah laku dan sunah beliau. Kelima, engkau mengaku senang surga, tetapi tidak berbuat menuju kepadanya.

Keenam, engkau mengaku takut neraka, tetapi tidak mengakhiri perbuatan dosa. Ketujuh, engkau mengakui kematian itu hak, tetapi tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Kedelapan, engkau asyik meneliti aib-aib orang lain, tetapi melupakan aib-aib dirimu sendiri. Kesembilan, engkau makan rezeki Allah, tetapi tidak bersyukur pada-Nya. Dan kesepuluh, engkau menguburkan orang-orang, tetapi tidak mengambil pelajaran dari peristiwa itu.

Ketika remaja tak peduli agama


Dulu, waktu aku masih belum sepenuhnya mengerti apa itu agama, ngapain susah2 baca iqro hingga Qur'an (selain karena tidak mau kalah dan ketinggalan dengan teman lain), apa makna menyanyi islami selain untuk senang2 dan bertepuk tangan, saat aku relakan bangun di tengah tidur siangku yang nyenyak untuk segera mandi dan beranjak ke masjid desaku, saat aku menangis meraung-raung hanya karena tidak punya baju lengan panjang untuk digunakan pergi ke masjid...

Saat itulah, sesampainya di masjid hatiku kembali riang. Seolah kulupakan semua masalah dari mulai rasa kantuk yang masih tersisa hingga masalah baju lengan panjangku. Aku kembali berlomba-lomba membaca iqro’ dengan bimbingan ustadz ustadzahku yang tanpa kenal lelah. Kembali menyanyikan lagu islami yang hingga sekarang aku masih mengingatnya, dan kembali berlari-lari walaupun hanya sekedar mengelilingi lapangan badminton di halaman masjidku.

Kulihat wajah2 sabar, ikhlas dan telaten terpancar dari mereka, para ustadz/zah ku. Percaya tidak percaya, aku tidak sampai selesai membaca iqro’ empat dan langsung menanjak ke Al-Qur’an. Mereka tidak marah, malah mereka yang memberiku semangat. “Ora kudu rampung jilid 1 tekan 6, nek bacaane wis lancar tur bener. Soal hukum bacaan karo liyane iso sambil jalan”, (tidak harus selesai iqro’ 1 sampai 6, kalau bacaanya sudah lancar dan benar. Soal hukum bacaan dan lainnya bisa sambil jalan) kata ustadz Teguh kala itu.

Aku senang bukan main. Karena saat itu hanya akulah santri yang baru kelas 3 SD sudah bisa ‘pegang’ Al-Qur’an, juga telah hafal dari surat Ad-Dhuha hingga surat An-Nass.
Begitu banyak kedamaian tercipta bersama mereka dan teman2ku. Begitu banyak kenangan yang masih tersimpan di memori ingatanku, begitu banyak kehangatan di kala berkumpul dalam kebersamaan. Banyak suka dan duka telah kami lalui bersama. Dari mulai menyanyi terjemahan surat Al-Kautsar, temu santri+kado silang, kuliah kebun, takbir keliling, silaturahim keliling (lebaran), berbagai macam lomba hingga naik gunung telah kita lakoni.

Tapi kadang ada dukanya juga. Tidak jarang di masjidku tercinta At-Taqwa terjadi kegaduhan. Mulai suara petasan disana sini (waktu Ramadhan hingga kepergok patroli keliling), keributan saat membuat spanduk, saat menjadi amil zakat, bahkan saat malam takbiran yang diwarnai dengan perkelahian (waktu itu ada beberapa orang pemuda dari desa lain yang menampakkan sikap tidak nyaman bagi remaja kami ; merokok di depan masjid hingga terjadi bentrok)
Juga acara kuliah kebun yang sulit aku lupakan. Berjalan dimalam hari dengan diterangi cahaya obor, bersama beberapa temanku sambil berusaha menjawab beberapa soal dari pos sebelumnya menuju pos berikutnya. Mirip seperti jurit malam. Dan satu lagi yang masih melekat dalam ingatan adalah melihat sunrise di puncak gunung yang sejak dari shubuh kami sudah berangkat meninggalkan rumah.

Kalau disuruh menceritakan satu persatu, rasanya tidak akan cukup. Akan butuh berlembar-lembar dan pasti akan sangat menyita tempat dan waktu. Oya, satu lagi peristiwa yang membuatku geli jika mengingatnya. Waktu itu berdo’a akan memulai TPA. Kebetulan aku agak rame dengan teman sebelah. Setelah selesai, ternyata aku bersama temanku itu disuruh mengulangi berdo’a dari awal. Mau sih mau, tapi setelah itu kami berduapun agak tidak suka dan jaga jarak dengan ustadzah yang menyuruh kami mengulangi berdo’a tadi. (Namanya Mbak Uni) Yah, namanya juga anak2.
Bisa dibilang, ada seorang ustadz yang mungkin… kalau nggak ada dia aku tidak mau ngaji. Namanya Ustadz Yuli. Dan aku tidak mau ngaji (baca iqro’/Qur’an) kalau tidak sama Ustadz Yuli itu. Bukan aku saja yang ‘kesengsem’ dengan kharismanya. Semua temanku (terutama santriwati), bahkan ada seorang ustadzah yang sempat jadi teman dekat. Pada saat itu kami (santriwati yang ‘kesengsem’) cemburu bukan main. Sekali lagi, namanya juga anak2. Jadi senyum2 sendiri kalau inget.

Begitu banyak ustadz/zah yang membimbing kami dulu. Dari mulai Ust. Eko (yang mirip Glenn Fredly), Ust. Teguh, Ust. Ari, Ustzh. Uni, Ustzh. Yanti, Ustzh. Nining dan masih banyak lagi ustadz/ustadzah dibawah generasi yang saya sebutkan diatas. Sekarang, saya tidak tahu mereka ada dimana. Apakah masih aktif dalam kajian sebagaimana yang mereka sampaikan kepada kami dulu atau tidak. Sungguh, aku rindu…
Keadaan itu sudah sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Masih di desaku, masih di masjidku tercinta At-Taqwa. Satu minggu TPA seharusnya jalan 2 kali. Minggu dan Kamis. Namun mereka (adik2 santri) terpaksa terkatung2 tidak menentu mengikuti TPA. Kadang Minggu dan Rabu, Minggu dan Jum’at, Minggu dan Senin, bahkan pernah seminggu hanya 1 kali pertemuan. Kenapa? Karena tidak ada ustadz/zah yang dapat membimbing mereka di kala mengaji. Terpaksa jadwal mengikuti kita (saya dan seorang teman), kapan kita kosong. Karena teman saya itu (tepatnya mantan santri yang sempat saya bimbing dulu) sekarang baru kelas 3 SMP. Dan dia disibukkan dengan berbagai macam les untuk menghadapi UAN. Sungguh dilematis. Bisa dibilang remaja sekarang sudah tidak peduli agama. Daripada pergi ke masjid, mending nyuci seragam atau pakaian yang seabreg. Daripada ngajar adik2 TPA, mending bersih2 rumah, capek, ketiduran, atau pulang sore (padahal masih sempat) de el el adalah alasan2 yang sering saya dengar dari mereka ketika saya ajak ngaji.

Bagaimana akan tercipta generasi yang rabbani kalau anak2 sekarang tidak pernah mengenyam pendidikan agama (kecuali di sekolah) hanya karena tidak ada ustadz yang membimbing. Mereka hanya mau berkumpul jika dalam buka bersama di bulan Ramadhan, malam takbiran, lebaran… Sedangkan TPA seperti biasa tidak mereka ambah.
Kalau dipikir, jaman dulu dengan sekarang sudah jauh berbeda. Sekarang fasilitas sudah lengkap. Disediakan iqro’ dari jilid 1 hingga 6 yang dalam satu buku (berbeda dengan dulu yang masih ada sampulnya saja sudah bagus). Ada juz ‘ama, ada Al-Qur’an yang insya Allah cukup untuk mereka yang TPA, disediakan pula buku2 yang lain yang menunjang belajar mengajar di masjid, masjid ada kipas angin kalau memang alasan mereka kegerahan. Sungguh sudah lebih layak dibanding dulu. Seharusnya semangatnya juga lebih besar… tapi malah justru alasannya yang dibesar-besarkan.
Bukan menyalahkan mereka teman2 yang tidak peduli, tapi juga mencoba menanamkan prinsip dalam diri saya pribadi. Berusaha agar meluangkan waktu untuk dapat menyalurkan sedikit ilmu yang telah saya dapat dari mereka yang terdahulu. Apa saja, mulai dari nyanyian sampai cerita dan kisah. Ajakan sholat 5 waktu, berlomba untuk mencapai Qur’an walaupun dengan iming2 hadiah. Semua akan kami lakukan demi mereka tetap mau pergi ke masjid. Agar nuansa islam dan impian menjadi generasi rabbani tidak lenyap begitu saja dalam kehidupan kami. Dalam sanubari kami yang paling dalam...