y

Catatan di Penghujung Juni

Kutatap sebatang pohon mangga di samping rumahku. Dulu, pohon itu tidak lebih tinggi dariku. Namun semakin lama seiring berjalannya waktu dia terus tumbuh hingga ada beberapa ranting yang akupun tak sanggup menggapainya. Bila sedang berbuah, pohon itu menghasilkan buah yang lebat dan manis. Mungkin karena lebatnya, tangkai-tangkai pohon itu merunduk… seolah ingin memudahkan kami untuk menggapai dan memetiknya, dan menikmatinya.

Namun bila musim kemarau menyapa, membayangkan buah yang menggantung disetiap tangkainyapun serasa tak mungkin. Daun-daun mulai mengering hingga berguguran dibuai angin. Ranting batang ada beberapa yang mulai berubah warna kecokelatan, hingga akhirnya rapuh dan patah. Apakah keadaan macam ini akan terus berlanjut?
Kurasa tidak. Ketika bulir-bulir bening yang tercurah dari langit bagaikan mampu membangunkan sang pohon yang telah sekarat dan hampir mati. Kembali dapat kulihat daun-daun yang lebar dan menghijau. Ranting yang kekar dan terus menjalar. Hingga akhirnya muncul putik-putik bunga yang kelak akan menyajikan buah yang ranum nan lezat.

Waktu,
Hanya waktulah yang dapat mengubah segalanya layaknya pohon yang hijau menjadi kering, hingga menjelma menjadi pohon yang segar hijau kembali.
Begitu pula denganku, waktulah yang merubahku. Namun, apakah aku telah berubah kearah yang lebih baik? Apakah aku telah dapat menyajikan buah hasil dari perjalanan waktuku? Tidaklah perlu bagi orang lain, bagi diriku sendiri saja…rasanya belum maksimal.

Tuhan, yang pertama kali…aku mensyukuri nikmat waktu yang telah Engkau berikan hingga detik ini…detik ini. Sehingga aku masih dapat menghirup segarnya udara pagi, menatap sinar mentari, dan selalu berharap bisa bangkit kembali. Menatap masa jauh kedepan, meninggalkan masa yang telah lalu yang hanya dipenuhi sia dan nafsu.
Sungguh, aku ingin melupakan masa-masa yang pernah kulalui hanya dengan renyah tawa tanpa mengingat-Mu. Masa-masa yang hanya penuh omong kosong tanpa menyebut asma dan mengagungkan-Mu. Masa dimana aku terbuai terlena tanpa sadar akan kewajibanku untuk menyembah-Mu. Ingin rasanya kumulai waktuku dari nol. Nol besar, dan melaluinya dengan bibir basah penuh dzikir, hati tentram penuh kasih-Mu, pikiran tenang selalu mengingat-Mu. Tapi, bisakah…

Tuhan, kiranya Kau masih sudi memberiku sedikit waktu saja untuk memperbaiki segala kelakuanku dulu. Kiranya Kau masih sudi membukakan Baabut Taubah untukku. Kau masih percayakan waktu ini untukku, hingga hari ini..detik ini. Umurpun semakin merangkak…dan aku juga harus merangkak untuk menuju ridha-Mu. Gapailah tanganku Tuhan, hingga aku tak akan terjatuh lagi…
Berkahilah setiap detik waktu yang kulalui, agar aku tidak menjadi insan bodoh yang mudah menyiakan masa dan kesempatan. Agar pula aku dapat bermanfaat bagi orang lain, pun untuk diriku sendiri.
Ya Allah, ampunilah segala dosa dan kekhilafanku. Kuharapkan maghfiroh dari-Mu.
Bimbing diri ini menuju cinta kasih, rahmat serta ampunan-Mu.
Karena hanya dengan itulah, aku bisa hidup…

Saat-saat Indah


Terkadang ada saat-saat dalam hidup ketika engkau merindukan seseorang begitu dalam, hingga engkau ingin mengambilnya dari angan-anganmu, lalu memeluknya erat-erat!

Ketika pintu kebahagiaan telah tertutup, dan pintu yang lain terbuka; seringkali kita memandang terlalu lama pada pintu yang tertutup hingga kita tidak melihat pada pintu yang lain,
yang telah terbuka bagi kita.

Jangan percaya penglihatan; penglihatan dapat menipu.
Jangan percaya kekayaan; kekayaan dapat sirna.
Percayalah pada Dia yang dapat membuatmu tersenyum.
Sebab, hanya senyumlah yang dibutuhkan untuk merubah hari gelap menjadi terang.
Carilah Dia, yang membuat hatimu tersenyum.

Angankan apa yang engkau ingin angankan;
Pergilah kemana engkau ingin pergi;
Jadilah seperti yang engkau kehendaki,
Sebab, hidup hanya satu kali dan engkau hanya memiliki satu kesempatan untuk melakukan segala hal yang engkau ingin lakukan!

Semoga engkau punya cukup kebahagiaan
untuk membuatmu tersenyum,
Cukup pencobaan untuk membuatmu kuat,
Cukup penderitaan untuk tetap menjadikanmu manusiawi,
Dan cukup pengharapan untuk menjadikanmu bahagia.

Mereka yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki yang terbaik dari segala sesuatu.
Mereka hanya mengoptimalkan segala sesuatu yang datang dalam perjalanan hidup mereka.
Masa depan yang paling gemilang akan selalu dapat diraih dengan melupakan masa lalu yang kelabu!
Engkau tidak akan dapat maju dalam hidup hingga engkau melepaskan segala kegagalan dan sakit hatimu.

Ketika engkau dilahirkan,
engkau menangis sementara semua orang di sekelilingmu tersenyum.
Jalani hidupmu sedemikian rupa,
hingga pada akhirnya engkaulah satu-satunya yang tersenyum sementara semua orang di sekelilingmu menangis.

Jangan hitung tahun-tahun yang lewat,
hitunglah saat-saat yang indah.
Hidup tidak diukur dengan banyaknya napas yang kita hirup,
Melainkan dengan saat-saat dimana kita menarik napas bahagia...


dari seorang teman

Sebuah Cerpen

Selama beberapa hari ini sedikit sibuk dengan persiapan FAS jadi bingung banget mau posting apa. Kebetulan salah satu cabang lomba ada Lomba Kreasi Mading dengan tema Save Palestine. Jadi mau ngga mau surfing sana sini buat cari bahan mading tentang Palestina. Wah, jadinya ngga kreatif nih. Bahannya aja nyari di internet. Bukan gitu, masalahnya ini yang dilombakan Kreasi Menata/Menghias/Mempercantik Mading. Jadi kesimpulannya bahan-bahannya (tulisan/isi mading) ngga murni bikinan sendiri ngga papa kan?!

Cerita sedikit yah..
Jadi gini, seluruh bahan jadi yaitu tripleks ukuran 75x100cm dan segala bahan-bahan jadi yang lain dibawa dari rumah. Nah, disana nanti tinggal merangkainya saja. Disediakan waktu dua setengah jam. Lumayan..
Dari sekarang udah prepare dengan background bendera palestine yang dibikin berbentuk oval gitu. Karena udah pusing dan males bikin bahan tulisan akhirnya cari di internet aja. Sah dong..
O iya, pas lagi surfing kebetulan menemukan sebuah cerpen Palestina yang bagus banget. Saya sampai lupa sumbernya. Tapi sepertinya sudah tersebar, karena ya memang suruh nyebarin tuh cerpen. Yah, itung-itung saya juga ikut nyebarin karena cerpen tsb insyaalllah ikut dipasang di mading.
Penasaran mau baca cerpennya, ini dia saya post di blog! Dibaca ya...
Insya Allah memberi manfaat! (^_^)


"AKU TAMENG UNTUK AYAHKU"

Ayahku seorang tukang jahit cukup ternama di kampung ini. Beliau sangat bersahaja dan sangat ramah kepada setiap orang yang ditemuinya, baik yang dikenalnya atau pun tidak. Kesehariannya, ayah selalu menghabiskan waktunya di sebuah kios kecil tepat di depan pintu rumah kami untuk menjahit baju pesanan langganannya. Apabila order lagi sepi ayah mencari order keliling dengan
menggunakan sepeda, sehingga ayah dikenal juga sebagai tukang jahit keliling oleh warga setempat.

Rumah kami berada di Kampung Zaitun. Rumah yang sebagian besar dindingnya tanpa
plesteran semen itu, lebih mirip sebuah kotak pembungkus televisi raksasa. Hanya ada sebuah pintu masuk, satu buah jendela tepat di samping pintu dan satu buah lagi jendela kamar. Tidak ada pintu belakang, karena persis di belakang rumah kami berdiri juga rumah-rumah warga lain yang tidak kalah kumuhnya dengan rumah yang kami tempati. Kondisi rumah-rumah sangat rapat.

Kios tempat ayah berkerja untuk menjahit adalah ruang tamu yang telah disekat
menjadi dua bagian. Sekatan yang agak besar menjadi tempat ayah bekerja, menjahit baju pesanan langganannya. Di pojok ruang itu terdapat lemari kaca untuk menggantung pakaian pelanggannya yang sudah selesai ia jahit. Sekatan yang lebih kecil menjadi ruang tamu keluarga kami.

Udara di luar rumah sekarang ini sangat panas. Hawa panas sampai menusuk ubun-ubun kepalaku. Iklim di tanah Palestina memang berubah-ubah, antara iklim laut tengah dan iklim gurun. Kendati demikian pada masa-masa tertentu iklim gurun pasir juga mempengaruhi iklim keseluruhan. Sehingga pada malam hari udara sangat dingin.

Kampung Zaitun berada di Jalur Gaza. Ada beberapa kota yang berada di Jalur Gaza, di Gaza utara ada kota Beit Hanoun dan Beit Lahiya, di bagian Timur Jalur Gaza juga banyak perkampungan.
Karena kampung kami berbatasan langsung dengan Negara Yahudi, Israel, kondisinya sangat menakutkan dan berbahaya. Peristiwa memilukan sering kami saksikan dengan mata kepala. Beberapa ruas jalan utama setiap hari diblokade oleh Pasukan Israel dengan persenjataan lengkap.
Mereka sering bentrok dengan orang-orang dewasa atau pun anak-anak tanggung Palestina, bahkan dengan anak kecil seusiaku, bentrokan sering memakan korban jiwa.
***

Sebagian besar teman-teman seusiaku sudah tidak mempunyai orang tua, ayah atau
ibu mereka tewas akibat kekejaman tentara Israel. Yaitu yang orangtuanya
tergabung dalam kelompok-kelompok mujahidin penentang Israel. Maka itu, aku sangat sayang dan hormat kepada ayah. Beliau tidak banyak berbicara tetapi dari caranya bersikap, aku tahu ia sangat sayang dan selalu melindungi kami. Ibuku, aku dan adikku.

Namaku Jamal, Jamal Ahmad Fayyad. Usiaku sekarang baru 7 tahun. Adikku Fatimah
Shafiyah. Ayahku sering dipanggil orang-orang Mister Tailor, nama profesinya. Nama ayah sebenarnya adalah Mohammad Al Fayyad. Ibuku bernama Siti Aisyah.

Sering aku membayangkan hidup tanpa seorang ayah, aku paling sedih apabila
mendengar cerita tentang teman-temanku yang kehilangan ayahnya karena pertempuran dengan pasukan Israel. Sebagian besar orang dewasa dan remaja memilih bergabung dengan militer Hamas yang menguasai seluruh Jalur Gaza.

Hari ini rasanya malas sekali untuk bermain di luar rumah, biasanya menjelang siang setelah pulang sekolah, aku pasti bermain dengan Abbas, Ali, Salam dan Yunus. Kami bermainan layang-layang atau perang-perangan dekat tembok pembatas. Kali ini aku memilih tinggal di rumah, sambil melihat ayah yang asyik sendiri dengan mesin jahitnya. Ibu di kamar mengipasi Fatimah yang tidur kepanasan.

”Jamal, coba kamu ke sini sebentar” ayah memanggilku.

”Ada apa yah?” tanyaku.

”Temani ayah ke pasar,” katanya sambil merapikan sisa-sisa potongan kain dan menggulung benang yang tidak terpakai.

”Asyik, nanti beliin Jamal mainan yah,” aku berseru kegirangan. Biasanya kalau ke pasar aku minta dibelikan mainan.

”Kan mainanmu masih banyak,” balas ayah memandangku.

Aku menunduk. Benar juga, mainanku banyak. Semua mainan disimpan dengan amat rapi oleh ibu dalam sebuah kotak kayu besar.
Selesai sholat Dzhuhur, kami sudah bersiap. Ayah mengambil sehelai Kafiyeh (sorban) dan dilingkarkan di kepalanya, mirip ulama’-ulama’ tersohor di dunia.

”Ayo kita jalan sekarang,” ayah langsung memegang tanganku. Ibu mengantarkan kami sampai di depan pintu dan kemudian menutupnya rapat-rapat.

Jalanan siang ini tidak terlalu ramai oleh lalu lalang orang. Sebagian orang bergerombol di kedai-kedai atau di depan rumah sambil duduk-duduk ngobrol.

Kami berjalan kaki. Ayah masih menuntunku. Tangannya memegang erat tanganku. Padahal aku ingin tanganku jangan dipegang biar aku bisa jalan sambil berlari-lari atau menendang-nendang batu di jalanan yang berdebu.

Tetapi keinginan itu aku tidak sampaikan. Aku memandang wajahnya, wajah selalu serius. Menyadari aku menatapnya, ayah tersenyum.

”Kenapa lihat-lihat ayah?” tanyanya.

”Ayah keringatan tuh,” balasku. Beliau hanya tersenyum, sambil menyusutkan keringat di dahinya dengan ujung kafiyeh.

”Kamu kepanasan juga ya, nanti di pasar ayah akan belikan jus dingin biar kamu segar,” rayu ayahku. Mungkin ayah pikir aku memandang dia karena kesal diajak jalan ke pasar siang-siang begini. Padahal aku memandanginya karena aku kagum padanya.

Tujuan kami adalah pasar Wahd, pasar yang paling ramai dan lengkap di kawasan Jalur Gaza. Pasar Wahd masih agak jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki seperti ini.

Sesekali tanganku dilepas ayah, kemudian dipegang lagi, tadi tangan kanan, sekarang tangan kiri. Aku senang punya ayah sebaik Mister Tailor ini. Aku tidak akan berpisah dengannya. Aku membutuhkannya. Aku pandangi lagi wajahnya. Ayah, aku sayang ayah, batinku.
***

Tiba-tiba dari arah depan kami, banyak sekali orang-orang berlarian. Aku dan ayah menepi ke atas trotoar jalanan. Sebagian dari yang berlarian itu terlihat berdarah-darah.

Ayah langsung memelukku dan menggendong tubuhku. Ayah mencari celah untuk
bersembunyi. Kami akhirnya menemukan sebuah pot bunga besar di atas trotoar jalan.

Teriakan orang-orang menjadi lebih panik. Aku melihat tank-tank tentara Israel sudah mulai mendekat ke arah kami, suara tank-tank itu bergemuruh. Ayah tercekat. Di udara Helikopter serbu tentara Israel meraung-raung.

Di sebelah jalan aku melihat beberapa pejuang sedang berusaha menembakkan roket RPG, aku hafal karena jenis roket tersebut sering kami lihat dipakai oleh para pejuang. Roket RPG diluncurkan ke arah helikopter, tetapi meleset tidak mengenai sasaran. Helikopter Israel malah melancarkan serangan balasan.

Balasan tembakan dari helikopter itu, kemudian berdesing-desing di kuping. Aku menutup mata dan telinga. Ayah semakin merapatkan pelukan, ia berusaha melindungiku di balik pot bunga besar. Beberapa rentetan tembakan membahana membelah siang yang panas. Keadaan sekeliling kami semrawut. Akibat tembakan roket RPG para pejuang, tentara Israel yang menggunakan tank kemudian
membombardir jalanan.
Beberapa orang mulai melempar bom-bom Molotov ke arah tank. Pejuang Palestina terdesak di jalanan, aku bahkan melihat tiga tubuh tergolek bersimbah darah. Mereka tidak bergerak. “Ya, Allah tolonglah kami,” pintaku membatin berdoa.

Aku tahu, ayahku bukan penakut. Dia sedang membela dan melindungi aku dari situasi pertempuran ini. Tubuhnya basah oleh keringat. Sekali-kali ia beristighfar dan menyebut asma Allah.

Deru tank-tank Israel semakin terdengar, pertanda semakin dekat dengan tempat
posisi kami bersembunyi. Tembakan-tembakan mortir juga memekakan telinga. Menghancurkan rumah-rumah dan gedung yang berada di sepanjang jalan menuju pasar.

Suasana hingar bingar mendadak senyap. Ayah dan aku masih berjongkok, bersembunyi di balik pot bunga besar.

Tiba-tiba, ada suara lantang yang berteriak mengagetkan kami.

”Hai, keluar kalian dan angkat tangan!” hardik tentara Israel yang tiba-tiba sudah berada di depan kami.

Ayah tetap memeluk aku. Aku ketakutan luar biasa.

”Lepaskan anak itu!” kali ini tentara Israel sudah berjumlah tiga orang. Berdiri dengan pongah di depan kami, sambil menenteng senapan perang otomatis.

”Ini anak saya, biarkan kami pergi,” teriak ayahku kepada tentara Israel.

”Sedang apa kalian di sini? Haa??!” bentak seorang tentara berkumis tebal.

”Saya mau ke Pasar Wahd, dan kami terjebak dalam pertempuran ini,” jawab ayah tanpa terdengar takut.

”Cepat kalian pergi dari sini!” kata tentara lainnya.

Ayah dengan cekatan memegangiku, untuk pergi. Namun aku sangat curiga dengan
perilaku ketiga tentara Israel itu. Mereka bersenjata lengkap, bahkan moncong senjatanya selalu mengarah ke muka kami. Kami diperlakukan layaknya bukan manusia.

Ayah berjalan cepat ke arah jalan menuju rumah kami, tanganku dipegang sangat erat. Ayah berjalan terus memandang ke depan. Aku berjalan sesekali kepalaku melihat-lihat ke belakang.

Ya, Allah! Aku terkesiap, saat aku menoleh ke belakang tiga tentara itu sedang bersiap mengarahkan senjatanya ke arah kami, mereka telah mengokang senjata itu siap untuk menembak ayah.

” Tembaak!!” perintah seorang dari mereka.

Senjata laras panjang itu menyalak. Dengan refleks aku melepaskan tanganku dari pegangan ayah. Aku berlari ke arah peluru yang sedang meluncur ke arah ayah. Keberanianku muncul, aku tidak mau kehilangan ayah, aku tidak mau ayah meninggal dibunuh tentara Israel!

Berondongan tembakan mengenai seluruh tubuhku. Ayah langsung berteriak memegang tubuhku yang hendak jatuh ke bumi. Aku tidak merasakan apa-apa, saat tubuhku tergolek di pangkuan ayah. Ayah menangis meraung-raung. Aku berusaha memegang wajah ayahku. Tapi tanganku tidak pernah sampai untuk sekadar mengusap wajah ayahku. Aku kemudian melihat sinar yang terang benderang berada tepat di depan mataku.

Aku hanyalah seorang anak yang tidak mau kehilangan seorang ayah. Aku sangat tahu betapa sedih dan perih perasaan teman-temanku yang ditinggal mati oleh ayah. Biarlah aku yang mati.

Namaku Jamal. Jamal Ahmad Fayyad bin Mohammad Al Fayyad.
Aku tameng untuk ayahku tercinta!!