y

Permudahlah Maafmu...

“Kulihat tiga orang anak kecil dibawah pohon mangga di depan rumahku. Mereka terlihat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Kuamati, ternyata mereka sedang menyusun balok-balok kayu kecil layaknya rumah atau bahkan ada yg menyerupai mobil-mobilan dan lain sebagainya. Namun tiba-tiba, susunan rumah yang sudah hampir jadi itu jatuh berantakan. Sangat berbeda dengan beberapa detik yang lalu, saat hanya kurang menambahkan sekeping balok sebagai atapnya…rumah itu akan telah sempurna. Seorang anak yang merasa menyenggol susunan balok-balok itu hanya terdiam. Begitu pula sang empunya, hanya menatap nanar didepan bangunan impiannya yang susah payah dibangun, kini telah porak poranda. Sejenak kesibukan mereka terhenti, tak terdengar gurauan renyah lagi, tetapi samar berganti isak tangis yang mengiris hati.

Tiba-tiba saja, kulihat sebuah uluran tangan tulus bersamaan dengan lontaran kata ‘maaf’ yang terdengar halus dari bibir seorang bocah. Sejenak isakan bocah yang lain terhenti, menatap tajam sambil mengusap air mata yang terus meleleh. Hingga akhirnya, tak sia-sialah uluran tangan dan lontaran maaf itu. Disambutnya dengan hangat, dan seketika isakan tangis berubah menjadi canda dan gurau yang indah…”

Kenikmatan memberi maaf lebih indah daripada meminta maaf. Kenikmatan memberi maaf akan diikuti dengan pujian, sedangkan kenikmatan meminta maaf akan diikuti dengan penyesalan seusai berbuat khilaf.
Kita diingatkan dengan sebuah perkataan mulia dari seorang sahabat tersohor, Umar bin Kaththab r.a, beliau menuturkan,
“Sebaik-baiknya memberi maaf adalah memberi maaf ketika mampu dan sebaik-baiknya kesederhanaan adalah kesederhanaan ketika mampu.”
Selain ungkapan para sahabat terkait dengan pemberian maaf ini, para generasi terdahulu lainnya ikut menyumbangkan pesan-pesan yang bermakna sangat dalam. Dengan susunan kata-kata yang sederhana, namun didalamnya mengandung hikmah yang luar biasa. Adalah Said Ibnu Musayyid, beliau menuturkan, “Seorang pemimpin yang memberi maaf lebih baik daripada memberikan hukuman.”
Namun sangat jarang sekarang ini, kita dapati seorang pemimpin atau apalah namanya yang dengan senang hati dan ikhlas sudi menerima maaf dari orang lain atau dari orang yang dipimpinnya tanpa mengantongi ‘syarat’ yang sekiranya dapat menebus kesalahan orang tersebut. Apalah syarat itu kalau tidak berupa hukuman sebelum akhirnya kata ‘saya maafkan kamu’ itu terlontar.

Bukan hanya pemimpin, kita kaca pada diri sendiri. Sering merasa berat dan gundah meskipun hanya untuk menerima maaf dari seseorang yang mungkin telah melakukan khilaf pada kita. Padahal sebenarnya, obat paling mujarab untuk mengobati rasa sakit hati kita pada orang lain yang telah berbuat salah hanyalah membukakan pintu maaf.
Ketika tangan dan tubuh bebas bergerak ditambah dengan keleluasaan untuk memberi maaf kepada orang lain, kelebihan ini tentu akan membuahkan ketenangan hati. Lain halnya, bila dendam kesumat membara dalam dada ditambah lagi angan yang tak kunjung terwujud, tentu akan menambah sesak dan sempitnya hati.

Kita sebagai makhluk-Nya yang dhoif, tidak sepantasnya merasa congkak dengan tidak mau membuka pintu maaf kepada mereka yang mungkin dengan sengaja atau tidak sengaja menyakiti hati kita. Simaklah suatu hadits dibawah ini,
Dari Anas radhiallahu 'anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula”.
(HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih)

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ia berkata, “…Allah tidak akan menambah kepada orang yang pemaaf kecuali kemuliaan. Tidaklah seseorang yang merendahkan diri kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”
(HR. Muslim)

Simaklah penuturan Al-Makmun, beliau berucap, “Aku menginginkan supaya orang-orang yang berbuat dosa mengetahui jalan pikiranku dalam memberi maaf supaya jiwa mereka selamat.”
Al-Makmun pernah dihadapkan kepada seorang yang telah berbuat jahat. Lalu Al-Makmun bertanya kepadanya, “Apakah kamu orang yang telah berbuat ini dan itu?”
Dia menjawab, “Benar, wahai Amirul Mukminin, akulah orang yang telah melakukan perbuatan ini dan itu, tapi aku bergantung kepada maafmu.” Lalu Al-Makmun memaafkannya dan mudahlah jalannya.

Memberi maaf bukanlah merupakan suatu tanda kerendahan diri yang kita miliki. Namun, kenikmatan memberi maaf selain dapat mengobati rasa sakit hati yang mungkin telah tergores, selain dapat mempererat tali silaturahmi sesama makhluk ciptaan Allah, memberi maaf juga akan mendapat janji surga dari Allah Ta’ala. Firman Allah,
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Al-Imran : 133-134)

Allah juga berfirman,
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, (namun) barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang menjahatinya) maka pahalanya ditanggung Allah (karena mulianya). Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berbuat dzalim (menjahati/ merugikan orang)."
(QS. Asy-Syuura : 40)

“Wahai Rabb-ku, jikalau bukan karena cinta-Mu untuk memberikan ampunan kepadaku, tidaklah orang yang menentang-Mu akan menunda diri dalam meminta ampunan-Nya. Dan jikalau bukan karena maaf dan kemuliaan-Mu, niscaya seorang hamba tidak akan merasakan indahnya surga-Mu. Maka anugerahkanlah kepada kami maaf dan kemuliaan-Mu, wahai Dzat pemberi maaf lagi pemberi nikmat…”


0 komentar :

Posting Komentar